Deskripsi : Model bentuk dari
perahu kematian dari seorang Sembiring (Karo). Ciplakan dari sebuah perahu yang
terdapat pada museum Batak sang Raja. Setiap tujuh atau delapan tahun keluarga
Sembiring melaksanakan pesta kematian. Tulang tulang dari seseorang, yang
meninggal dunia sejak dari pesta yang terahir, di gali dan di letakkan di dalam
pot. Kemudian dihanyutkan ke sungai Lau biang . Hal di bawah ini berasal dari
Achim Sibeth, The Batak, London Thames and Hudson, 1991 p. 70-73. Kekaisaran
kematian tersebut biasanya terdapat tidak jauh dari tempat pemakaman atau
pegunungan. Beberapa dari Karo meyakini bahwa kekaisaran kematian (alam
kematian) hanya dapat di capai melalui air. Kepercayaan lama ini memungkinkan
sebuah hal bahwa mereka yang memiliki posisi penting di Karo di letakkan di
peti yang berbentuk sebuah kapal perahu dengan bagian kepalanya berbentuk
seekor burung rangkong.
Peti Kayu bertulis seperti itu
dinamakan pelangkah. Pelangkah terletak di sisi samping rumah yang di bubuhi
sebuah pipa saluran air untuk pengaliran cairan tubuh, yang di salurkan
langsung menuju ke tanah . Apabila sanak saudara memiliki cukup dana , maka
akan dilaksanakan penguburan yang kedua. Sisa sisanya dibersihkan dan
tengkorak dan tulang tulang besarnya di letakkan di geriten, rumah untuk tulang
tulang. Tulang tulang lainnya di bakar . Seremoni ini disebut nurun nurun. Pada
situasi yang lainnya seluruh tulang tulang tersebut di bakar, dalam hal ini
tidak ada keseragaman . Pada sisi atas peti terdapat seorang laki laki di
bagian depan yang biasanya menyandang sebuah senjata dan wanita di letakkan di
sisi bagian belakang. Fungsi dari senjata tersebut adalah sebagai berikut.
Sosok sang Begu , roh dari yang meninggal dunia di pisahkan dari jiwanya, roh
yang hidup pada mereka yang ditinggalkan dipertahankannya untuk mengikuti jejak
roh yang mati. Figur wanita adalah sosok seorang prister, guru sibaso.
Tangannya bagaikan memohon ke atas sana. Figur figur seperti ini juga terdapat
pada perahu keluarga Sembiring, seperti exemplar. Kebanyakan dari Sembiring
melaksanakan pembakaran dalam hal kematian dan meletakkan abunya di pot pada
saat seremoni besar besaran dilaksanakan. Setelah orang belanda menduduki/menguasai
wilayah karo, hal seperti ini tidak lagi dilaksanakan.
Keluarga Sembiring ini menurut
beberapa legenda bahwa mayat meraka tidak akan dibolehkan di biarkan lama di
dalam kubur dan secepat mungkin di bakar . kemudian mereka meletakkan abunya ke
atas perahu ini dan menghanyutkannya ke sungai. Figur figur kecil di atas
perahu tersebut , menyatakan mereka mereka yang telah meninggal dunia ,
biasanya empat atau delapan. Semuanya terbuat dari kayu pohon kemiri . Semuanya
di warnai dengan warna batak merah dan hitam. Setiap sosok yang meninggal
mendapatkan sebuah pakaian dan perhiasan, agar dapat dikenali. Pakaian, senjata
dan perhiasan dari yang meninggal di gantungkan pada perahu tersebut. Di awali
dengan penempatan perahu di atas gunung pasir , sesudah itu di ikat pada rakit
bambu. Abu dari yang meninggal dunia di sebarkan di atas perahu , atau pot
potnya di isi dengan abu dan di letakkan di atas perahu. Sibeth percaya bahwa
pot pot yang berisikan abu, pada rakitan bambu, di letakkan di samping p erahu
tendi. Setelah selesai seremoni pertangisen maka perahu tersebut di bawa
kembali ke kampung. Pada hari keenam segalanya di bawa kembali ke gunung pasir.
Pada bagian paling belakang dari haluan perahu di letakkan sebuah korban yaitu
ayam betina putih. Di siang hari perahu tersebut di biarkan di permukaan air
setelah mast dan pakaian senjata, dan perhiasan di keluarkan. Sebelas kali
perhu tersebut berlayar maju dan berlayar mundur, kemudian dilempari keluarga
Sembiring dengan batu ke perahu tersebut sehingga terbalik. Dengan demikian abu
tersebut lebih cepat tumpah ke air . Untuk keluarga sembiring tendi tendi
tersebut langsung menuju ke alamnya . Karo lainnya memiliki kepercayaan bahwa
roh tersebut berada di kuburan .
Diterjemahkan oleh Gabriella bru
Ginting
Sumber : Fb Group Sapo Holand
Model van een dodenschip
vervaardigd uit o.a. aren
Beschrijving :
Model van een dodenschip van de
Sembiring (Karo Batak). Kopie van een boot die stond opgesteld in het Batak
museum te Raja. Iedere zeven of acht jaar hielden de Sembiring een dodenfeest.
De beenderen van degenen, die waren overleden sinds het laatste feest, werden
opgegraven en in een pot geplaatst. Deze liet men de Lau Biang rivier
afdrijven. Onderstaande komt uit Achim Sibeth, The Batak, London Thames and
Hudson, 1991 p. 70 - 73 Het dodenrijk bevond zich meestal niet ver van het
dorp, in de buurt van de begraafplaats of bergen. Sommige Karo geloofde dat het
dodenrijk slechts over water bereikt kon worden. Dit oude geloof heeft mogelijk
ertoe geleid dat heel belangrijke Karo in een doodskist gelegd werden in de
vorm van een schip met de kop van een neushoornvogel.
Dergelijke kisten heetten
pelangkah. De pelangkah stond naast het huis met een afvoerpijp voor de
lichaamssappen, die zo de grond instroomden. Als de familie voldoende geld had
verzameld, vond een tweede begrafenis plaats. De resten werden schoongemaakt en
de schedel en de grote botten vonden een plaats in de geriten, het bottenhuis.
De overige botten werden gecremeerd. Deze ceremonie heette nurun-nurun. In
andere gevallen werden alle botten gecremeerd, hierover bestaat geen
eenduidigheid. Op deze kisten werden een man voorop, vaak met een geweer, en
een vrouw achterop geplaatst. Het geweer heeft de volgende functie. Het moet de
begu, de dodeziel van de overledene weghouden en de tendi, de levensziel van de
nabestaanden weerhouden de dodenziel te volgen. De vrouwfiguur is een
priesteres, guru sibaso. Haar handen zijn smekend opgeheven. Dergelijke figuren
komen ook voor bij de Sembiring dodenschepen, zoals dit exemplaar. De meeste
Sembiring cremeerden hun doden en deden de as in potten tijdens grote ceremonieën.
Nadat de Nederlanders het Karo gebied overheerste werden deze ceremonieën niet
meer uitgevoerd.
Deze Sembiring Batak zouden
volgens verschillende legendes hun doden niet langer mogen begraven en waren
overgegaan tot cremeren. Vervolgens lieten ze de as op deze boten de rivier
afdrijven. De kleinere figuren op de boot, stelden overledenen voor, meestal
vier of acht. Alles is gesneden uit kemiri hout. Alles is geschilderd in de
Batak kleuren rood en zwart. Elke overledene krijgt kleding en sieraden, zodat
ze herkenbaar worden. Kleding, wapens en sieraden van de overledenen worden op
de boot gehangen. Eerst worden de boten op een zandberg geplaatst, daarna
vastgemaakt op een bamboe vlot. De as van de overledenen werd uitgestrooid op
de boot, of de potten met as worden op de boot geplaatst. Sibeth gelooft dat de
potten met as, op het vlot, naast de zielenboot werden geplaatst. Na een rouw
ceremonie bracht men de boot weer terug naar het dorp. Op de zesde dag werd
alles weer naar de zandberg gebracht. Op het achterdek werd een offer van een
witte hen neergelegd. In de middag werd de boot te water gelaten nadat de mast
en de kleding, wapens en juwelen waren verwijderd. Elf keer werd de boot stroom
opwaarts en afwaarts gevaren, daarna gooiden de Sembiring stenen naar de boot
zodat die zou kapseizen. Hierdoor zou de as sneller naar de rivier gaan. Voor
de Sembiring konden de zielen zo naar het dodenrijk gaan. Andere Karo geloofden
dat de ziel dichter bij de begraafplaats bleef.
Titel : Model van een dodenschip
vervaardigd uit o.a. aren
Vervaardigingsdatum : ca. 1924
Aanbieder : Tropenmuseum
Amsterdam
Source : digitalecollectienederland.nl klik
Comments