Tahun 1966, Dewan Gereja Indonesia (DGI) melakukan kampanye besar-besaran di Kabanjahe untuk memanggil orang-orang Karo berlindung di bawah gereja untuk terhindar dari tuduhan atheist/ komunis. Tahun 1967, berdiri Balai Pustaka Adat Merga Si Lima yang menyerukan bahwa (aliran kepercayaan) Pemena bukan atheist/ komunis dan bahkan setara dengan agama-agama dunia lainnya. Saat itu Dr. Euwe (Belanda) baru saja memenangkan kejuaraan catur dunia, mengingatkan orang-orang Karo akan pertandingan antara Dr. Euwe dengan Narsar (Pa Kantur) Purba yang berlangsung alot dan remis di Amsterdam beberapa tahun sebelumnya.
Narsar Purba adalah tokoh spiritual gerakan Perodak-odak dengan Pa Raja Bale Ginting (Murba) sebagai pemimpinnya. Secara berame-rame orang-orang Karo meninggalkan gereja dan kembali ke Pemena. Pada sinode 1969, Anggapen Ginting Suka terpilih menjadi ketua moderamen Gereja batak Karo Indoensia (GBKP). Dia mengilhami strategi baru; dari anti tradisi lama menjadi teman tradisi lama. Sejak itu anggota GBKP meningkat drastis.
Pada tahun 1972, Partai Murba dibekukan. Adam Malik naik haji dan pindah ke GOLKAR. Pa Raja Bale mengikuti jejaknya, masuk Islam dan pindah ke GOLKAR. Djamin Gintings berhasil mengubah total haluan politik Karo dari sosialis-nasionalis ke GOLKAR (Djamin Gintings adalah pendiri GAKARI, organisasi inti GOLKAR pada permulaan Orde Baru). Terjadi frustrasi berat di kalangan Pemena. Bupati Karo Siregar dan Partai Murba tidak dapat lagi melindungi mereka secara politik.
Saat itu pemburuan bekas-bekas anggota PKI golongan C mulai lagi dilancarkan. Suatu hari datanglah direktur perguruan Khalsa Medan (seorang Sikh) ke Berastagi, didampingi oleh Lamlo (Tamil Medan) dan Brahma Putro (K. S. Brahmana) (kepala SMA Khalsa). Mereka berbicara dengan pengurus-pengurus Balai Pustaka Adat Merga Si Lima di Hotel Asia hingga mencapai kesepakatan bahwa Pemena/ Perbegu adalah Hindu. Terbentuklah Persatuan Hindu Karo dengan kantor pusat di Berastagi yang kemudian pindah pada tahun 1985 ke warung perkolong-kolong Malem Pagi Ginting di Kabanjahe.
Tahun 1985 diresmikan cabang Parisada Hindu Dharma Karo bersamaan dengan peresmian Pure Bali (gaya arsitektur Bekasih) di Desa Tanjung Kecamatan Kutabuluh (Kabupaten Karo). Dengan 50.000 anggota resmi ditambah 50.000 simpatisan. Jumlah anggota Parisada Hindu Dharma terbesar di Indonesia di luar Bali saat itu.
Perbedaan pandangan tentang kehidupan beragama bercampur baur dengan keadaan politik saat itu. Sehingga terjadi suatu "game" dengan mana konsep yang dipakai sebelumnya diubah untuk mencapai tujuan tertentu. Misalnya saja, dari rasa sinis terhadap gendang dan tudung berubah menjadi senyuman manis terhadap perumah begu dan perumah jenujung. Sama halnya dengan peralihan dari ide bahwa Pemena/ Perbegu setara dengan agama-agama dunia lainnya ke ide bahwa Pemena/ Perbegu adalah Hindu Dharma.
*ditulis pada 15 November 2002
Oleh : Juara Rimantha Ginting
Sumber selengkapnya : ItaApulinaTarigan klik
Comments