14-10-2011
Indira Permanasari dan Ahmad Arif
KOMPAS - Tambah Tarigan (70) duduk takzim dengan lutut ditekuk. Sirih dan tembakau tersaji di depannya. Kedua tangan keriputnya menyatu di depan dada. Suasana hening. Tiba-tiba tubuhnya bergetar. Hanya sesaat, lalu kembali diam.
Orang-orang di dalam rumah panggung kayu itu tegang menantikan adegan berikutnya. ”Nggo reh nini, kai penungkunen kena (Nenek sudah datang. Kalian mau tanya apa)?” suara Tambah memecah keheningan.
Ketika Sinabung meletus, berbagai ritual yang dasarnya pemberian sesaji alias ercibal untuk tolak bala difokuskan ke Sinabung. Ritual-ritual ini dipimpin guru si baso yang menjadi penghubung antara warga dan roh. Guru diyakini memiliki pengetahuan tentang alam semesta yang berasal dari Yang Kuasa. Mereka juga berfungsi sebagai biak penungkunen, tempat meminta penjelasan dan sehat atas peristiwa aneh yang dialami.
Tiga pemuda desa yang duduk mengitari Tambah lalu bertanya. ”Apakah Sinabung akan meletus lagi?” ujar Sabirin Manurung, pemuda yang biasa menjadi pemandu pendakian Mata Tambah terpejam. Suara gemeresak seperti radio rusak keluar dari tenggorokan, sementara bibirnya terkatup. Setelah suara gemeresak berhenti, Tambah berujar, ”Kata ’mereka’, Sinabung tidak akan meletus lagi. Aman.” ”Mereka” yang dimaksud adalah roh-roh leluhur di Sinabung.
”Kenapa tahun lalu Sinabung meletus?” ujar Sabirin lagi. Suara gemeresik kembali terdengar dari
tenggorokan Tambah. ”’Mereka’ marah. Warga menambang batu dan melukai ’mereka’. Warga sudah meninggalkan ’mereka’ dan tidak mau mengadakan upacara lagi,” ujar Tambah.
tenggorokan Tambah. ”’Mereka’ marah. Warga menambang batu dan melukai ’mereka’. Warga sudah meninggalkan ’mereka’ dan tidak mau mengadakan upacara lagi,” ujar Tambah.
Bagi Tambah, Sinabung bukan hanya batuan. Ia sosok hidup, bisa terluka dan marah. Asap putih yang mengepul dari puncak Sinabung ibarat embusan napas roh-roh gunung.
Roh yang semula tertidur tenang itu bangkit sejak setahun lalu. Sinabung, yang tak pernah tercatat aktif, tiba-tiba meletus pada 29 Agustus 2010. Letusan gunung juga memicu kembalinya kepercayaan tradisional.
Kembali marak
Hanya beberapa hari setelah letusan, para guru si baso disibukkan berbagai upacara. Tambah, misalnya, diminta turut memimpin ritual pemberian sesaji berupa rokok, bunga, dan hasil bumi di dekat Danau Lau Kawar, yang berada persis di kaki Sinabung.
Ritual juga diadakan di Desa Guru Kinayan, Kecamatan Payung, dan di Desa Kuta Rakyat, Kecamatan Naman Teran. Seekor kambing putih dan lembu dilepaskan di kaki gunung sebagai persembahan.
Ritual hampir dilakukan sepanjang tahun. Warga biasanya segera mengadakan ritual jika merasa menemukan keganjilan. Seperti yang terjadi di Desa Guru Kinayan, pertengahan Juli 2011.
Beberapa warga mengaku melihat sarilala, semacam bola api, melintasi desa mereka. Khawatir terjadi musibah, terutama karena gunung meletus, warga menaruh sesaji di tempat keramat, seperti sumber air, pohon besar, dan makam kuno.
Guru si baso didaulat menjadi medium untuk meminta kepada roh leluhur. Puluhan warga lalu berduyun-duyun menuju jambur, tempat mereka menari-nari diiringi gendang. Aparat desa pun turut serta dalam ritual tersebut.
Salah seorang warga, Harapan Sembiring (60), turut dalam upacara itu karena berharap desanya tak terkena petaka. Ritual itu juga membawa manfaat lain. Upacara yang dipersiapkan dengan gotong-royong telah membangkitkan kebersamaan. ”Orang-orang tua juga berpesan dalam upacara tadi supaya warga akur, saling tolong, dan berbuat baik,” ujarnya.
Sebelum letusan Sinabung, ritual tradisional sulit ditemui. Rita Smith Kipp, antropolog dari Kenyon College, dalam bukunya, Dissociated Identities Ethnicity, Religion, and Class in an Indonesian Society, 1993, menulis, ritual skala besar mulai jarang dijumpai di Karo sejak 1970-an. Redupnya ritual ini, menurut Rita, tak lepas dari kian banyaknya orang Karo yang memeluk agama formal.
Memudar bukan berarti hilang. Antropolog dari Universitas Sumatera Utara, Sri Alem Sembiring, sejak lama mengamati peran guru si baso sebagai penjaga tradisi. ”Masyarakat memang jarang mengadakan upacara, tetapi kelompok tabib dan guru rutin melakukan ritual di tempat keramat,” ujarnya.
Namun, Sri Alem menangkap perbedaan ritual yang dilakukan sebelum dan sesudah letusan. Sebelum letusan, ritual tidak khusus ditujukan atau terkait gunung. Alasannya, selama ratusan tahun Sinabung tidak pernah meletus sehingga masyarakat tidak lagi memiliki memori yang menakutkan terhadap gunung.
Ketika Sinabung meletus, berbagai ritual yang dasarnya pemberian sesaji alias ercibal untuk tolak bala itu difokuskan ke Sinabung.
Ritual-ritual ini dipimpin guru si baso yang menjadi penghubung antara warga dan roh. Guru diyakini memiliki pengetahuan tentang alam semesta yang berasal dari Yang Kuasa. Mereka juga berfungsi sebagai biak penungkunen, tempat meminta penjelasan dan sehat atas peristiwa aneh yang dialami.
Di sisi lain, warga mengalami krisis kepercayaan terhadap ilmuwan dan pemerintah, yang dianggap gagal memperingatkan soal letusan Sinabung, yang tiba-tiba terjadi. ”Masyarakat berpikir, geolog saja bisa keliru. Itu berarti ada rahasia yang tak terungkap,” ujarnya.
Warga kemudian memilih pasrah dan menyerahkan ”rahasia alam” itu kepada guru si baso. Kepasrahan dan ritual ini menjadi perlindungan dari segala kerumitan fenomena alam yang tak terjelaskan.
Itu pula yang mendorong tiga pemuda desa memilih mendengarkan gemeresik suara dari tenggorokan Tambah Tarigan ketimbang datang ke Pos Pemantauan Gunung Api Sinabung.
(Mohammad Hilmi Faiq/Amir Sodikin)
(Mohammad Hilmi Faiq/Amir Sodikin)
Comments