Nisan kuburan dari Rakutta Sembiring Brahmana di Taman Makam Pahlawan Kabanjahe, Kabupaten Karo. |
Pergerakan Rakutta
Sembiring
Setelah menikah beliau makin gencar turun dalam gelanggang
politik. Berbagai macam diskusi ia lakukan, bersama teman-temannya seperti
Munaf Munir, Jakob Siregar, Selamat Ginting, Keras Surbakti dll. Mereka
melakukan pergerakan sampai ke Kota Cane, Aceh Tenggara Propinsi NAD.
Tahun 1930, Rakutta kembali terjun ke dunia politik setelah
sebelumnya terhenti karena aktivitasnya berdagang pakaian. Pada tahun ini juga
ia mendirikan Indonesia Muda Cabang
Medan. Setelahnya Rakutta kembali ke Tanah Karo untuk berdiskusi mengenai
pendudukan Jepang di Tanah Karo dengan Selamat Ginting dan Keterangen Sebayang. Kemudian akhirnya
mereka juga mengajak Nolong Ginting Suka
dan Nerus Ginting Suka. Sehubungan
dengan terbentuknya Komite Indonesia
Cabang Medan yang dipimpin oleh Sugondo
Kartoprodjo dari Taman Siswa, di Karo juga kelima tokoh ini sepakat
membentuk Komite Indonesia Cabang Tanah
Karo. Kegiatan pertama komite ini adalah memberikan resolusi kepada
pemerintahan jepang di Tanah Karo untuk mempercepat kemerdekaan Indonesia
Pada tahun 1943,
Rakutta keluar dari Partindo, ia kemudian masuk Pendidikan Nasional Indonesia yang di pimpin oleh Tama Ginting dan
berkedudukan di Berastagi. Kegiatan
dari Pendidikan Nasional Indonesia ini antara lain memberi ceramah dan
kursus-kursus kepada para anggota masyarakat mengenai perkembangan zaman dan
taktik serta siasat yang dijalankan di bawah kekuasaan Jepang. Pada masa ini
juga Rakutta bersama tokoh lainnya mendirikan Koperasi sebagai wadah propaganda kepada masyarakat Karo untuk
kesadaran politik di samping kegiatan jual beli barang di pasar-pasar atau
di kantor-kantor koperasi. Koperasi ini bernama Poesat Ekonomi Rakyat (Poesra).
Untuk menyatukan dan menyalurkan segala potensi yang ada pada
masyarakat agar dapat membantu Jepang, maka dibentuklah Badan Oentoek Membatoe Pertahanan Asia yang disingkat dengan BOMPA. Bompa ini berdiri pada 28
Nopember 1942 di Medan. Pada saat awal berdirinya Bompa ini dipmpin oleh Mangaraja Soangkupon. Kemudian
berikutnya pimpinan Bompa digantikan oleh Mr
Mohammad Yusuf dan akhirnya dipegang oleh Abdul Karim MS. Abdul Karim MS merupakan seorang tokoh pergerakan
rakyat di zaman penjajahan Belanda dan pernah masuk penjara di Digul.
Bompa yang berada di Medan kemudian me
mbuka cabang cabang
baru di berbagai daerah termasuk di Tanah Karo. Bompa di Tanah Karo dipimpin oleh Raja Oekum Sembiring seorang
pengusaha otobis yang terkenal di Tanah Karo dengan bis bermerek Cap Nenas dan Rakutta Sembiring Brahmana sebagai
wakilnya. Bompa cabang Karo kemudian membuka ranting dan anak ranting sampai ke
kampung-kampung yang ada di Tanah Karo. Dengan adanya kegiatan Bompa kemudian banyak pemuda-pemuda Karo yang akhirnya
memasuki Heiho (tentera sukarela)
dan Gyu Gun (pembela tanah air)..
Rakutta Sembiring
Menjadi Bupati Karo
Setelah kekalahan Jepang atas Sekutu tanpa syarat, pada
tanggal 17 Agustus Proklamasi kemerdekaan Indonesia dilaksanakan di Jakarta. Di
Kota Medan sendiri proklamasi itu
sendiri baru di umumkan pada tanggal 25 September 1945 setelah adanya desakan dari Selamat Ginting
dan kawan-kawan terhadap karim MS dan Teuku
Mohammad Hasan.
Untuk menyampaikan kabar proklamasi itu ke seluruh Sumatera
Utara, maka dibentuklah Barisan pemuda
Indonesia yang di pimpin oleh Tama Ginting. Rakutta sendiri berada pada
seksi penerangan. Seiring dengan berdirinya Badan Keamanan Rakyat sebagai
tentara resmi Pemerintah, di Tanah Karo juga dibentuk BKR di bawah pimpinan Djamin Ginting, Bom Ginting dan kawan-kawan. Pada Januari 1946 Komite Nasional Indonesia
di bentuk di Tanah Karo dengan Ketuanya Rakutta Sembiring Berahmana.
Setelah adanya penghapusan
Swapraja (Pemerintahan Sendiri), Komite Nasional Indonesia Tanah Karo
mengadakan rapat di Kuta Gadung Berastagi, pada tanggal 13 Maret 1946 mengambil
keputusan penting diantaranya
pengangkatan Rakutta Sembiring Berahmana sebagai Bupati Karo.
Rakutta Sembiring
Brahmana diangkat menjadi bupati Tanah Karo pada tahun 1946. Diangkatnya Rakutta Sembiring
Brahmana sebagai kepala pemerintahan di Tanah Karo mengawali karier Rakutta
Sembiring Brahmana dalam menjadi bupati. Rakutta
Sembiring Brahmana merupakan bupati pertama di Tanah Karo setelah
sebelumnya kepala pemerintahan sementara dipegang oleh Ngerajai Sembiring Meliala sebagai kepala pemerintahan Swapraja.
Setelah Kabupaten Karo terbentuk dan Rakutta Sembiring Brahmana diangkat menjadi bupati, pada 18 April 1946
diputuskan bahwa wilayah Kabupaten Karo
dibagi menjadi tiga kewedanan dan tiap kewedanan terdiri dari lima kecamatan,
yakni Kewedanaan Karo, Kewedanaan Karo Hilir dan kewedanaan Karo Jahe.
Kemudian setelah pemerintahan di Karo terbentuk maka Komite
Nasional Indonesia dirubah menjadi Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dan Rakutta Sembiring menjadi Ketua DPRD. Pada
tanggal 20 November 1947 Rakutta
Sembiring Brahmana mengeluarkan uang tukar dengan nomor registrasi No. 20490
dengan nilai Rp. 1000 per lembar.
Rakutta Sembiring
Brahmana memimpin Tanah Karo selama dua periode. Periode pertama yaitu sejak tahun
1946 hingga tahun 1949, dan periode kedua yaitu tahun 1949 hingga tahun 1953.
Selama Rakutta Sembiring Brahmana menjabat sebagai bupati di Tanah Karo telah
terjadi beberapa kali perpindahan pusat pemerintahan kabupaten. Hal ini tidak
terlepas dari kondisi politik yang masih belum stabil. Adapun
tempat kantor kepala pemerintahan Karo sejak Indonesia merdeka adalah sebagai
berikut :
a. Kabanjahe, tahun 1945-31 Juli 1947
b. Tigabinanga, 31 Juli 1947-25 Nopember 1947
c. Lau Baleng, 25 Nopember 1947-7 Februari 1948
d. Kutacane, 7 Februari 1947-14 Agustus 1949
e. Tiganderket, 14 Agustus 1949-17 Agustus 1950
f. Kabanjahe, 17 Agustus 1950 hingga sekarang
Perpindahan pusat pemerintahan ini tidak terlepas dari
situasi dan kondisi NKRI pada masa itu.
Rakutta Sembiring
diangkat menjadi Bupati Asahan.
Kabupaten Asahan terbentuk setelah Indonesia merdeka tepatnya
pada tanggal 15 Maret 1946 yang dipimpin oleh
Abdullah Eteng dan Sori Harahap sebagai wakil kepala wilayah. Rakutta Sembiring Brahmana diangkat menjadi
bupati Asahan pada tahun 1954.
Saat menjabat sebagai
bupati Asahan, Rakutta Sembiring juga
merangkap sebagai walikota Tanjung Balai karena kekosongan pemimpin pada masa
itu. Pada tahun 1957 Rakutta
Sembiring Brahmana juga menjadi anggota Konstituante Fraksi PNI.
Rakutta Sembiring
Brahmana menjabat sebagai bupati di Kabupaten Asahan selama enam tahun. Rakutta Sembiring Brahmana memimpin
di Kabupaten Asahan yaitu sejak tahun 1954-1960. Selama ia memimpin di Kaupaten
Asahan dia berusaha memimpin dengan
bijaksana dan tegas sehingga ia bisa di terima di wilayah yang bukan tanah
kelahirannya
Menjadi Walikota
Siantar
Pada tahun 1960,
Rakutta Sembiring Brahmana diangkat menjadi walikota Pematang Siantar. Pada masa ini ia resmi menjadi pengikut Kristen Protestan, sebagaimana sebelumnya ia adalah penganut agama Hindu
Pemena. Pada masa kepemimpinanya di Pematang Siantar, Rakutta Sembiring
Brahmana mengikuti organisasi Partai
Nasional Indonesia (PNI). Hal ini menunjukkan bahwa beliau tidak pernah lepas
dari kegiatan organisasi politik. Tahun 1962 Ia mengikuti Latihan
Kemiliteran Pegawai Sipil. Latihan kemiliteran pegawai sipil ini diadakan oleh
Komando Daerah Militer II Bukit Barisan.
Rakutta Sembiring Brahmana menjabat sebagai walikota Pematang
Siantar sejak tahun 1960-1964. Beliau
hanya menjabat sebagai walikota selama empat tahun karena beliau kemudian tutup
usia sehingga tidak dapat melanjutkan tugasnya
Rakutta Sembiring
Brahmana tutup usia pada tanggal 28 Januari 1964. Pada waktu tutup usia Rakutta Brahmana berusia lima puluh tahun. Beliau
meninggalkan satu orang isteri, enam orang anak, dan dua orang cucu. Ia
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kabanjahe
atas permintaan dari Pemerintah Kabupaten Karo.
Sumber : Eva Angelia Sembiring, Repository.usu.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
Angkatan Darat Komando Daerah Militer II Bukit Barisan, Surat
Keterangan
(idjazah), 1962.
Bangun Lagu, ‘’Suatu Tinjauan Hubungan Perjuangan Nasional
Indonesia Dengan
Perjuangan Rakyat Tanah Karo (1947-1949)’’, Skripsi S-I,
Medan: Universitas
Sumatera Utara, 1982.
Bangun Tridah, Kilap Sumagan: Biografi Selamat Ginting,
Jakarta: Haji Masagung,
1993.
---------------, Koran Karo-Karo Pejoang’45 Multi Dimensi,
Medan: Tani Namura,
2002.
----------------, Otobiografi Tridah Bangun: Sosok Wartawan
Dan Pengarang Kreatif
Serta Nasionalis, Jakarta: Lau Simalem, 2005.
Fu’ad Zulfikar, Menulis Biografi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008.
Forum Komunikasi Kelompok Kerja, Perjuangan Rajyat Semesta
Membela
Proklamasi 17-8-1945, Jakarta, 1975.
Gottschalk Louis, Mengerti Sejarah (Terj. Nugroho
Notosusanto), Jakarta: UI- Press,
1985.
Kaloh J, Kepemimpinan Kepala Daerah, Jakarta: Sinar Grafika,
2009.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Keating dan Charles J, Kepemimpinan: Teori Dan
Pengembangannya. Yogyakarta:
Kanisius, 1986.
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana,
1994.
Marbun Ruslina, ‘’Agresi Militer Belanda Di Asahan
(1947-1949)’’, Skripsi S-I,
Medan: Universitas Sumatera Utara,1987.
Nawawi Hadari, Kepemimpinan Yang Efektif, Yogyakarta: Gajah
Mada, University
Press, 1993.
Payung Bangun, Dari Medan Area Ke Sipirok Area, Medan: Merga
Silima, 1998.
Pemikiran Biografi Dan Kesejarahan: Suatu Kumpulan Pada
Berbagai
Lokakarya, Jakarta, 1983.
Prinst Darwan, Adat Karo, Medan: Bina Media Perintis, 2004.
Safrin Lagut S dan Ngadimin, 70 Tahun O K Harmaini Nuansa
Suara Para Sahabat,
Medan: USU Press, 1997.
Saragih Rosida, ‘’Masa Pemerintahan Pendudukan Jepang di
Simalungun (1942-
1945)’’, Skripsi S-I, Medan: Universitas Sumatera Utara,
1978.
Sembiring Rakutta, Corat Coret Budaya Karo, Medan: Ula Kisat,
1985.
Sinaga Maknur, Kenan Purba, (ed.,), Sejarah Perkembangan
Pemerintahan Dalam
Negeri Kabupaten Daerah Tingkat II Simalungun, Pematang
Siantar, 2000.
Sinaga Muhammad Rasyid, ‘’Perkembangan Taman Hewan Pematang
Siantar
1978-1990’’, Skripsi S-I, Medan: Universitas Sumatera Utara,
2009.
Surbakti A. R, Karo Area, Medan: Ulih Saber, 1995.
-----------, Perang Kemerdekaan Di Karo Area, Medan, 1978.
Suprayetno, Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia, Yogyakarta:
Yayasan Untuk
Indonesia, 2001.
Wojowasito S, Kamus Umum Belanda Indonesia, Jakrta: Ichtiar
Baru Van Hoevel,
2003.
Comments
Huh.. :D