Ketika Rakutta Sembiring Brahmana masih anak-anak, beliau
sering mengikuti ayahnya dalam acara-acara adat seperti perkawinan, kemalangan,
memasuki rumah baru, begitu pun upacara ritual menurut kepercayaan leluhur. Hal
ini tidak mengherankan, karena ayah dari
Rakutta ini sendiri adalah seorang penetua adat yang kerap kali dipanggil
untuk menghadiri berbagai acara. Seringnya Rakutta mengikuti ayahnya dalam
berbagai acara adat mengakibatkan lambat laun ia mengetahui mengenai adat-adat
karo. Beliau juga sering berdiskusi dengan ayahnya mengenai adat-adat karo yang
belum ia mengerti. Dengan demikian maka pemahaman mengenai adat-adat ini akan
semakin banyak. Pemahaman Rakutta Sembiring Brahmana terhadap adat karo kelak
dituliskannya dalam sebuah buku yang berjudul "Corat Coret Budaya Karo".
Sama halnya dengan anak-anak sebayanya Rakutta Sembiring
Brahmana juga menyenangi permainan-permainan yang sering dimainkan pada saat
itu seperti sepak bola, catur, kelereng, gasing dan sebagainya. Dia juga
dikenal sebagai anak yang pintar. Namun seperti anak-anak pada umumnya, Rakutta
juga tidak terlepas dari kenakalan-kenakalan kecil yang sering dilakukan oleh
anak-anak. Rakutta Sembiring Brahmana tidak pernah mau mengalah apabila ia
merasa apa yang dia lakukan itu benar. Demikian juga ketika adik-adiknya
diperlakukan tidak adil oleh orang lain ia akan melawan dan memarahi adiknya
itu apabila tidak mau melawan orang tersebut. Sifat seperti ini tetap
dipertahankannya hingga ia menikah dan mempunyai anak .Konsep untuk melawan jika benar ia terapkan kepada
anak-anaknya kelak. Berdasarkan informasi yang penulis dapatkan dari salah
satu adik tiri Rakutta Sembiring Brahmana, abang sulungnya ini mempunyai
beberapa teman sepermainan yang sangat dekat yakni Ngerimi Ketaren dan Tandel
Brahmana. (16)
Ketika Rakutta Sembiring Brahmana menginjakan usia sekitar
delapan tahun tepatnya pada tahun 1924, beliau memasuki bangku sekolah untuk
pertama kalinya. Kedua orangtua Rakutta sepakat untuk menyekolahkan anak
sulungnya ini di Sekolah Rakyat yang dikenal dengan HIS (Holland Inlandsch School). Pada masa itu belum ada sekolah di
Desa Limang, oleh karena itu orangtuanya kemudian menyekolahkannya di Kabanjahe.
Jarak antara Kabanjahe dan Limang cukup jauh sehingga tidak
memungkinkan apabila Rakutta Sembiring Brahmana untuk pergi bersekolah setiap
harinya dengan pulang pergi, sehingga pada saat itu Rakutta dititipkan
orangtuanya di tempat neneknya di Kabanjahe. Sejak saat itu Rakutta Sembiring
Brahmana tidak tinggal bersama orangtuanya lagi. Meskipun Rakutta Sembiring
Brahmana telah tinggal bersama neneknya, namun kedua orangtuanya kerap kali
mengunjunginya dan demikian juga sebaliknya beliau juga sering mengunjungi
orangtua dan sanak saudaranya di kampung halamanya Desa Limang terutama pada
saat libur sekolah berlangsung. Biaya kehidupan Rakutta Sembiring Brahmana
setelah tinggal bersama neneknya di Kabanjahe tetap ditanggung oleh kedua
orangtuanya.
Ketika Rakutta Sembiring Brahmana masih duduk di bangku
Sekolah Rakyat yang dikenal dengan sebutan HIS (Holland Inlandsch School) ibu
kandung dari beliau yaitu Bayang Tua br
Sebayang dipanggil oleh Tuhan Yang maha Esa untuk menghadap kepadaNYA.
Peristiwa ini tentunya melukiskan luka
yang mendalam bagi Rakutta Sembiring Brahmana yang masih kecil. Kehilangan
salah satu orang yang paling dicintainya membuatnya sedikit rapuh. Namun
sebagai seorang anak laki-laki yang paling sulung dan berjiwa besar, Rakutta
tidak larut dalam kesedihan. Rakutta Sembiring Brahmana pun akhirnya bangkit
dan kembali pada kegiatannyaseperti biasa.
Masa Remaja Rakutta
Sembiring Brahmana
Setelah tamat dari HIS
(Holland Inlandsch School) pada tahun 1927, Rakutta Sembiring Brahmana
melanjutkan pendidikannya kejenjang yang lebih tinggi lagi. Rakutta Sembiring
Brahmana melanjutkan sekolahnya di Taman Siswa yang berada di Kota Medan.
Selama Rakutta Sembiing Brahmana di Medan, ia tinggal bersama salah satu
kerabatnya bernama Hj Harun yang dikenal
dengan julukan Pak Haji. Rakutta Sembiring Brahmana tinggal di Kampung Lalang Medan bersama pasangan suami
istri yang sudah lama menikah dan tidak mempunyai anak, oleh karena itu mereka
kemudian mengangkat Rakutta Sembiring
Brahmana menjadi anak angkat mereka. (17) Sejak ia diangkat menjadi anak oleh keluarga
Hj Harun, Rakutta SembiringBrahmana mempunyai orangtua kedua selain ayah dan
ibu kandungnya yang tinggal di Desa Limang. Selama ia tinggal di rumah Hj
Harun, Rakutta Sembiring Brahmana menjadi anak yang mandiri. Rakutta Sembiring
Brahmana tidak segan-segan melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci pakaian
dan piring, mengepel lantai bahkan memasak yang pada umumnya dilakukan oleh
kaum wanita.
Hal inimenunjukkan perubahan pada Rakutta Sembiring Brahmana
kecil menjadi anak yang mulai beranjak remaja. Hal-hal yang tidak pernah ia
lakukan di kampung halamanya seperti pekerjaan rumah kini harus ia lakoni.
Kerajinan dan kemandirian Rakutta Sembiring Brahmana inilah yang menyebabkan
orangtua angkatnya ini sangat menyayanginya. Rakutta Sembring Brahmana
menunjukkan bahwa ia bisa menjadi anak yang tidak mengandalkan harta kekayaan
yang dimiliki oleh ayahnya.
Rakutta Sembiring Brahmana masuk ke sekolah lanjutan yang
dikenal dengan Taman Siswa pada tahun
1927. Selama sekolah di Taman Siswa ini, ia dikenal dengan anak yang mudah
bergaul dan banyak disenangi orang, oleh karena itu tidak mengherankan apabila
Rakutta Sembiring Brahmana sangat dekat dengan gurunya, salah satunya ialah Pak Sugondo. Rakutta Sembiring Brahmana
juga dikenal sebagai anak yang mempunyai prestasi yang membanggakan karena ia
termasuk ke dalam ranking kelas.
Selama bersekolah di Taman Siswa Medan, Rakutta Sembiring
Brahmana kerap kali pulang ke kampung halamanya di Desa Limang terutama pada
saat sekolah libur. Untuk sampai ke kampung halamanya Rakutta Sembiring
Brahmana harus naik angkutan dari Medan
yang pada saat itu sangat sulit ditemukan. Satu-satunya angkutan umum yang menghubungkan
Medan-Berastagi adalah PMG
(PersatuanMotor Gunung). Dengan angkutan ini Rakutta Sembiring Brahmana
bisa sampai ke Desa Perbesi dan dari
desa ini kemudian perjalanan dilanjutkan lagi ke Desa Limang dengan berjalan
kaki. Perjalanan dari Desa Perbesi ke Desa Limang dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama 3 jam. Perjalanan
ini terpaksa dilakukan karena tidak ada angkutan yang sampai ke desa ini.
Ketika Rakutta Sembiring Brahmana pulang ke kampung halamanya
di Desa Limang, beliau tidak pernah ikut bersama orangtuanya ke ladang atau menggembalakan
kerbau. Biasanya selama liburan Rakutta Sembiring Brahmana menghabiskan
waktunya dengan membaca buku-buku atau menulis. Rakutta Sembiring Brahmana ini sangat menyenangi buku-buku yang berbau
politik. Meski Rakutta Sembiring Brahmana ini tidak pernah ikut bersama
orangtuanya ke ladang atau menggembalakan kerbau, kedua orangtuanya tidak pernah
memarahinya karena mereka menyadari hobbi dari anak sulungnya ini.
Selama Rakutta Sembiring Brahmana sekolah di Taman Siswa,
beliau tetap dibiayai oleh orangtuanya. Biaya kehidupannya terkadang diantar
oleh ayahnya ke Medan, lain waktu dikirim lewat pos, dan terkadang juga dibawa
oleh Rakutta Sembiring Brahmana ketika beliau ketepatan pulang ke kampung
halamannya. Rakutta Sembiring Brahmana mulai menunjukkan ketertarikanya di dunia politik sejak ia masuk ke sekolah Taman siswa.
Di sekolah ini beliau ikut dalam organisasi sekolah yang ditujukan untuk
seluruh siswa Taman Siswa. Organisasi yang diikuti oleh Rakutta Sembiring
Brahmana di Taman Siswa ini berupa organisasi
bawah tanah.
Organisasi ini merupakan salah satu organisasi tersembunyi
dan tak boleh diketahui keberadaanya oleh pemerintah Belanda. Keikutsertaan
Rakutta Sembiring Brahmana dalam organisasi sekolah ini dikarenakan kewajiban
yang dibebankan oleh pihak sekolah kepada seluruh siswa Taman Siswa. Guru-guru dari Sekolah Taman Siswa ini
kebanyakan berkecimpung di dalam dunia politik, sehingga mereka mengajak
siswanya untuk turut serta dalam pergerakan melawan penjajahan Belanda.
Ikut sertanya Rakutta Sembiring Brahmana dalam organisasi
bentukan sekolahnya secara tidak langsung menambah pemahamannya akan dunia
politik. Didikan dari Taman Siswa ini juga membentuk kepribadian Rakutta
Sembiring Brahmana yang berani mengambil resiko dalam menentang penjajah.
Rakutta Sembiring Brahmana semakin peka akan nasib bangsanya sehingga ia mau meninggalkan kemewahan yang ia dapatkan
dari orangtuanya dan bergabung bersama pejuang-pejuang di era 1930-an itu.
Selama sekolah di Taman Siswa beliau telah masuk menjadi
salah satu simpatisan Partai Nasional
Indonesia (PNI). Setelah tamat dari Sekolah Taman Siswa Medan pada tahun
1930, beliau melanjutkan kenjenjang yang lebih tinggi lagi. Beliau melanjutkan
pendidikannya disekolah yang sama yaitu Taman
Siswa Medan.
Pada pertengahan tahun
1930 Rakutta Sembiring Brahmana meninggalkan pendidikannya karena keinginanya
untuk masuk menjadi anggota Partindo. Masuknya Rakutta Sembiring Brahmana
ke dalam organisasi Partindo tidak terlepas dari dibubarkannya Partai Nasional
Indonesia (PNI).
bersambung
16 Wawancara dengan Riah Sembiring
Brahmana di Medan, pada tanggal 17 Juli 2010.
17 Wawancara dengan Mulih Hitdjrah
Sembiring Brahmana di Medan, pada tanggal 24 Juli 2010.
Comments