Pemandangan Pasar
Brastagi
Overzicht van de
markt te Berastagi, Karolanden, Sumatra`s Oostkust
1920-1925
Source : Tropenmuseum
|
Sebahagian besar petani lanjut usia (di atas 60 thn) selalu mengawali pembicaraan mereka mengenai sejarah hortikultura dengan sebuah senyum bahagia, seolah bernostalgia dengan serangkaian sejarah hidup mereka.... Pada saat ini, hasil ladang dibawa ke pasar di Berastagi dengan cara menjunjung di atas kepala (ijujung). Petani harus berangkat dari Desa Gurusinga berkisar pukul 04.00 wib atau 05.00 wib pagi. Pedati (gereta lembu) dapat digunakan, tetapi sewanya mahal dan juga ada rasa takut karena kondisi jalan masih berlubang-lubang dengan kedalaman mencapai 0,5 meter.
PERIODESASI WAKTU
BERDASARKAN PENGALAMAN PETANI:
Kajian Antropologi Mengenai Periode Perkembangan Budidaya
Hortikultura Di Berastagi Kab. Karo.
Oleh Sri Alem Br.Sembiring (1)
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
Pendahuluan
Tulisan ini mendeskripsikan bagaimana petani membuat pembagian periode waktu untuk menentukan perkembangan
kegiatan pertanian mereka, khususnya kegiatan praktik tanam campuran
hortikultura di lahan pertanian mereka. Hal yang menarik dari pembagian waktu
berdasarkan kriteria periodesasi versi petani ini adalah bahwa periode itu didasarkan kepada
pengalaman-pengalaman historis petani dari satu kurun waktu ke kurun waktu yang
lain. Pengalaman-pengalaman itu dapat berupa hal yang menggembirakan,
menyedihkan, menggelisahkan atau menakutkan yang dibarengi rasa was-was akan
kerugian atau keuntungan hasil ladang.
Pengalaman-pengalaman itu bervariasi dari masing-masing
petani. Namun mereka dapat mengkaji secara makro apakah situasi itu akan
menguntungkan atau merugikan bagi mereka. Secara umum, setiap petani senantiasa cenderung menghubungkan
ungkapan pengalaman mereka dengan perkembangan situasi politik pada setiap
periode waktu tertentu yang berimbas dengan kegiatan pertanian dan
keuntungan atau kerugian yang mereka peroleh dari hasil panen.
Kegiatan budidaya hortikultura yang dimaksudkan dalam tulisan
ini adalah kegiatan penanaman bermacam-macam jenis tanaman hortikultura dalam
satu lahan pertanian milik petani. Teknikpenanaman semacam ini senada dengan
isu saat ini ‘hangat’ dibicarakan kalangan iluwan dengan kata kunci ‘biodiversity’ (keanekaragaman hayati)
yang dapat mempertahankan sistem pertanian yang berkelanjutan. Cleveland (1993)
menyebutnya dengan ‘sustainable agriculture’ yang sangat penting untuk
mempertahankan stabilitas pertanian (lihat juga tulisan Shand 1997).
Sisi Historis
Perkembangan Budidaya Hortikultura
Uraian berikut ini akan memberikan suatu penggambaran bahwa
periodesasi perkembangan budidaya hortikultura itu juga erat berkaitan dengan
aspek perkembangan pengetahuan penduduk, interkasi penduduk dengan para migran,
kebijakan pemerintah di bidang politik, perkembangan pemanfaatan sarana jalan
dan transportasi, perkembangan pemanfaatan lahan dan secara tidak langsung
dengan perkembangan jumlah penduduk.
Deskripsi berikut ini akan menunjukkan aspek ‘the whole’ dari
suatu kajian antropologi. Perhatian secara holistik ini cenderung memberikan
suatu gambaran yang lebih mendetail mengenai suatu topik yang ditinjau dari
banyak sisi dan menunjukkan hubungan antara satu sisi dengan sisi lainnya
sebagai suatu sistem terkait (lihat dalam Vredenbregt 1984: Bernard 1994).
1. Periode Zaman
Belanda
Apabila kita menanyakan tentang sejarah tanaman hortikultura
di desa ini, hampir seluruh petani akan memulai penuturannya dengan kalimat, “dulu
pada waktu jaman Belanda ....”. Zaman Belanda merupakan salah satu awal
perhitungan sejarah penting bagi petani di Kab Karo, khususnya di Desa Gurusinga.
Kriteria periodesasi itu diawali dengan periode Zaman
Belanda. Istilah lain yang digunakan untuk menyebut periode ini adalah opedenga
mengongsi (sebelum engungsi), atau opedenga kirim (sebelum adanya
pengiriman produk pertanian untuk kebutuhan ekspor). Istilah-istilah ini
digunakan penduduk untuk menyebutkan apa yang terjadi pada tahun 1913. Kesamaan
perhitungan waktu di antara penduduk berlaku untuk masa sesudahnya, yaitu masa
sesudah mengungsi.
Perbedaan penggunanaan istilah ini, seperti opedenga mengongsi atau opedenga kirim cenderung disebabkan
beberapa hal. :
Pertama, penduduk mempunyai pengalaman hidup yang sangat menyakitkan selama pengungsian, sehingga melekat dalam ingatannya adalah masa sebelum mengungsi. Beberapa penduduk lainnya menghubungkan dengan waktu pengiriman barang untuk kebutuhan ekspor, karena pilihan tanaman mereka terutama ditujukan untuk kebutuhan ekspor, seperti kentang atau kol. Atau, karena penduduk tersebut mendapat keuntungan besar pada saat adanya pengiriman hasil produksi pertanian untuk ekspor pada awal tahun 1950, sehingga mereka membedakannya antara adanya pengiriman dan sebelum pengiriman barang hasil produksi pertanian.
Pertanian Kol
Kool-aanplant,
Karo-hoogvlakte, Sumatra
Date 1900-1940
(globaal)
Source : Tropenmuseum
Author niet bekend / unknown
(Fotograaf/photographer) |
Sebahagian besar petani lanjut usia (di atas 60 thn) selalu
mengawali pembicaraan mereka mengenai sejarah hortikultura dengan sebuah senyum bahagia, seolah bernostalgia dengan serangkaian sejarah hidup mereka.
Menurut mereka, tanaman hortikultura pada Zaman Belanda yang telah menghilang
saat ini hanya sedikit. Hanya jenis
tangho yang sudah tidak di tanam lagi, karena sangat susah untuk memasarkannya.
Jenis hortikultura lainnya yang saat ini sudah mulai susah
ditemukan adalah andebi dan peleng(2).
Ketiga jenis tanaman ini adalah tanaman
favorit pada Zaman Belanda, begitulah mereka menuturkannya. Ketiganya banyak di tanam di sekitar Gurusinga,
khususnya di Tangkulen (Dusun IV), mengingat lokasi dusun ini sangat dekat
dengan kompleks perumahan orang-orang Belanda
di jalan Udara, tepatnya di desa Gundaling II.
Jenis hortikultura lainnya yang muncul hampir bersamaan
adalah kentang bibit Holland (‘Solanun
tuberosum L’), kubis (‘Brassica oleracexa/Brassica olerceaevar capitata L’)
yang diperkenalkan oleh imigran Tionghoa, sayur
putih (‘Brassica campestris var pekinensis Rupr’), dan buncis (‘Phaseoulus vulgaris L’). Buncis merupakan tanaman terakhir
pada periode ini (3).
Disamping itu, menurut penduduk juga terdapat beberapa jenis
hortikultura local (4), seperti; selada
air (sayur parit), tomat lokal (buahnya sangat kecil), labu jipang, labu kuning
(labu siam), labu putih (walo), daun labu, dan kangkung.
Pada saat ini (tahun 1946),
jumlah penduduk berkisar 202 kk. Pemanfaatan lahan hanya berkisar 60 ha dengan
tanaman dominan padi dan jagung. Pada tahun ini juga sudah terdapat beberapa
migran Tionghoa menyewa ladang-ladang petani di Dusun IV (Tangkulen) untuk
menanam tanaman muda (berusia tiga atau empat bulan), seperti kubis dan
kentang. Ladang-ladang petani di dusun IV (Tangkulen) disewa oleh beberapa migran Tionghoa dengan masa sewa
berkisar antara 1-3 tahun dan luas ladang mencapai 1- 3 ha. Perjanjian
sewa-menyewa disepakati dengan catatan bahwa pihak penyewa tidak diizinkan
menanam tanaman padi dan jagung, hanya tanaman muda. Disamping itu, pekerja pada ladang sewaan adalah petani pemilik
ladang, dan dapat ditambah dengan pekerja lain apabila dianggap belum
mencukupi.
Pada masa ini, petani Gurusinga belum menanam tanaman muda dengan
tujuan untuk dijual ke pasar atau untuk eksport, karena tidak memiliki modal dan belum
mengetahui cara perawatannya. Pada tahun 1946 ini, sarana jalan desa di
kuta (Dudun I dan II) masih merupakan jalan tanah dengan luas 4-5 m. Sementara,
di Dusun Korpri (Dusun III) belum ditemukan sarana jalan (transportasi), hanya
tersedia jalan tikus menuju Kota Kabanjahe dan Desa Kaban yang merupakan desa
tetangga Gurusinga.
Areal-areal perladangan lain masih dibiarkan kosong oleh
pemiliknya. Pada saat ini, hasil ladang dibawa ke pasar di Berastagi dengan
cara menjunjung di atas kepala (ijujung). Petani harus berangkat
dari Desa Gurusinga berkisar pukul 04.00 wib atau 05.00 wib pagi. Pedati (gereta
lembu) dapat digunakan, tetapi sewanya
mahal dan juga ada rasa takut karena kondisi jalan masih berlubang-lubang dengan kedalaman mencapai 0,5 m (5).
Lubang ini disebabkan oleh bekas roda pedati lembu atau kerbau pada musim
hujan. Pada saat itu, angkutan bus hanya
tersedia pada musim kemarau.
bersambung ke bagian 2
bersambung ke bagian 2
Pekerja bekerja pada
pembangunan jalan di Tanah Karo ,Sumatera Utara
Arbeiders werken aan
de aanleg van wegen in de Karolanden, Noord-Sumatra
Date 1914-1919
Source Tropenmuseum
|
Jalan raya di
Berastagi, Sumatera Utara
Autoweg bij
Berastagi, Noordoost-Sumatra
Date 1931(1931)
Source Tropenmuseum
|
(1)
Tulisan ini merupakan hasil penelitian penulis dalam rangka penulisan
tesis Magister selama enam bulan di Berastagi, khususnya di Desa Gurusinga yang
merupakan Desa terluas areal pertaniannya di Wilayah Kecamatan Berastagi. Tulisan
ini secara mikro adalah potret dari Desa Gurusinga khususnya. Setelah dikonformasi
dengan beberapa desa lain di Wilayah Kecamatan Berastagi, maka tidak berlebihan jika penulis mengatakan
bahwa apa yang tertera dalam tulisan ini adalah merupakan kondisi makro umum di
Kecamatan Berastagi.
(2)
Penduduk tidak mengetahui apa penyebutan tanaman ini dalam bahasa
Indonesia. Selain itu untuk menemukan jenis tanaman ini sudah sangat susah satt
ini. Penduduk hanya menyebutkan bahwa jenis ini hampir sama dengan jenis petsai
(Brassica campestris var. pekinensis Rupr. atau Brassica sinensis).
(3)
Kentang diperkirakan penduduk mulai ditanam pertama kali di Gurusinga
pada tahun 1925, dengan jenis bibit Holland yang dibawa oleh pemerintah
Belanda. Beberapa penduduk juga mengatakan, bahwa tanaman daun prei dan daun
sop juga telah ditemukan di desa lain, namun belum ditanam di Gurusinga.
(4)
Lokal dalam pengertian penduduk adalah, bahwa jenis tanaman tersebut
telah ada sebelum kedatangan Belanda atau sebelum mengungsi.
(5)
Menurut petani, persiapan yang dilakukan sangat merepotkan. Pengepakan
barang harus selesai sehari sebelumnya. Berangkat dari desa secara berkelompok
(antara 5-6 orang) pada subuh pagi hari dengan membawa obor untuk menerangi
jalan. Tiba di Berastagi berkisar pukul
07.00 Wib.
Comments