Brastagi di tahun 1967
|
Kegiatan belajar ini dapat dilakukan karena kegiatan cocok tanam dipercayakan oleh para migran Tionghoa sepenuhnya kepada buruh tani. Sementara migran Tionghoa berperan sebagai pemberi instruksi dan pengawas kerja. Dengan menjadi buruh, petani-petani Gurusinga dapat menambah pengetahuan mereka tentang tanaman hortikultura. Pada masa ini juga telah mulai terbuka peluang pasar ekspor. Beberapa petani desa ini yang telah memiliki uang dari hasil sewa tanah dan gaji sebagai buruh tani mulai memberanikan diri untuk beralih dari tanaman padi dan jagung ke tanaman hortikultura dalam skala kecil.
2. Periode Sesudah
Mengungsi
Penanggalan sejarah hortikultura berikutnya adalah masa sesudah mengungsi. Penduduk menyebutnya
dengan zaman mulih mengungsi. Masa ini dimulai pada tahun 1947.
Penekanan penting dari periode ini terutama pada masa dimulainya pengiriman
ekspor barang ke negara Malaysia dan Singapura berkisar tahun 1950. Masa ini
dibagi penduduk Gurusinga ke dalam tiga periode waktu. Ketiganya didasarkan kepada arus ekspor barang.
Kata kunci yang beredar luas untuk seluruh periode ini adalah Konfrontasi Malaysia, sebab peristiwa
ini yang menyebabkan arus ekspor barang menjadi terhenti. Terhentinya arus
ekspor barang ini berpengaruh kepada pilihan jenis dan jumlah penanaman, dan
pendapatan petani. Penduduk memilah tiga kurun waktu, yaitu; pra konfrontasi, saat konfrontasi dan pasca
konfrontasi.
Penyebutan Konfrontasi Malaysia menjadi penting bagi petani
karena situasi konfrontasi ini sangat menentukan terhadap keuntungan dan kerugian yang diperoleh petani atas hasil panen
tanaman hortikultura mereka. Uraian berikut ini akan mendeskripsikan situasi
yang dialami petani pada ke tiga periode waktu di masa konfrontasi tersebut.
2.1. Pra Konfrontasi
Periode ini di mulai sejak tahun 1947 atau 1948, tepat pada saat kembalinya penduduk desa
Gurusinga dan wilayah sekitarnya dari pengungsian hingga memasuki awal tahun 1950. Sekitar tahun 1948, tanaman hortikultura di Gurusinga dikuasai oleh para migran Tionghoa
yang menyewa lahan petani lokal untuk masa 1-3 tahun. Keuntungan ekspor barang juga hanya dirasakan oleh para migran,
karena penduduk lokal hanya berperan sebagai buruh tani miskin pada lahannya
sendiri yang telah disewa oleh migran Tionghoa. Masa ini dijadikan masa belajar untuk menanam tanaman muda
(tanaman hortikultura atau tanaman berusia singkat).
Kegiatan belajar ini dapat dilakukan karena kegiatan cocok tanam dipercayakan oleh para
migran Tionghoa sepenuhnya kepada buruh tani. Sementara migran Tionghoa berperan
sebagai pemberi instruksi dan pengawas kerja. Dengan menjadi buruh,
petani-petani Gurusinga dapat menambah pengetahuan mereka tentang tanaman
hortikultura. Pada masa ini juga telah mulai terbuka peluang pasar ekspor.
Beberapa petani desa ini yang telah memiliki uang dari hasil sewa tanah dan
gaji sebagai buruh tani mulai memberanikan diri untuk beralih dari tanaman padi
dan jagung ke tanaman hortikultura dalam skala kecil.
Keberuntungan beberapa petani pemula ini kemudian diikuti
petani lain. Pada masa ini jenis tanaman baru didominasi jenis kubis, antara
lain; sayur manis, sayur pendek, sayur panjang, dan sayur pahit (menurut
penyebutan lokal). Ada juga jenis kacang-kacangan, seperti; kacang koro, dan
kacang panjang.
Pada masa kembali dari mengungsi dimulai tahun 1947 sampai
1948, kondisi jalan dan sarana transportasi masih seperti masa sebelum mengungsi.
Pada masa ini pemanfaatan lahan mencapai
100 ha. Sebahagian besar dari lahan pertanian dimanfaatkan oleh migran
Tionghoa yang menyewa lahan petani di Gurusinga.
Tahap berikutnya dari periode ini dimulai tepat pada awal
tahun 1950. Tahun ini merupakan tahun
‘emas’ bagi sebahagian besar penduduk desa. Pada tahun ini, sebahagian
besar petani Gurusinga memperoleh keuntungan besar dari hasil panen mereka berkat adanya ekspor barang ke negara
Malaysia dan Singapura. Mereka mulai memiliki uang berlebih dari penjualan
hortikultura. Selama tahun ini, pertambahan
varietas tanaman meliputi; wortel, bunga kol, daun sop, prei, dan selada
(selada keriting). Menjelang akhir tahun
1960, pertambahan jenis tanaman berupa keragaman varietas semata, seperti;
bibit berbeda dari jenis kol, jenis kentang, jenis buncis. Varietas baru ini
disebut lebih unggul oleh pihak yang memperkenalkannya, apakah itu petugas
pertanian atau pemilik kios dan obat yang menjualnya.
Peningkatan pemanfaatan lahan untuk pertanian dimulai pada
saat adanya pengiriman ekspor produk pertanian ini, yakni berkisar tahun 1950-1960 an. Pada masa ini, pemanfatan lahan mencapai 100-150 ha,
dan jumlah penduduk mengalami pertambahan mencapai 300 kk. Perluasan ini
disebabkan karena sebagian penduduk
telah mulai mengikuti gaya migran Tionghoa, yaitu menanam tanaman muda
(tanaman berusia muda). Beberapa penduduk telah mulai mengetahui cara menanam
dan merawat tanaman muda. Penyebab lain juga karena menjelang tahun 60-an terjadi peningkatan volume
eksport hasil pertanian ke negara tetangga Malaysia dan Singapura. Sarana
jalan dan transportasi dan model pengangkutan hasil ladang juga masih seperti
tahun 1947.
Keadaan yang begitu membahagiakan bagi perbaikan penghasilan
melalui ekspor ini terhenti dengan dilakukannya pemutusan hubungan baik dengan
Malaysia pada tahun 1962.
Comments
Berastagi Tempo Doeloe.