“Kawan! Pusara adalah lambang kesinambungan hidup! Mati! Dalam perjuangan. Bahana kekal panggilan Bung Karno dari Blitar sampai Tanah Karo”
(Sitor Situmorang)
Demikian Sitor Situmorang, sastrawan angkatan 45 itu menuliskan seuntai kalimat tanda penghormatan pada “sang proklamator” pada sepetak batu marmer di Monumen Bung Karno, Laugamba Berastagi.
Bougenville di halaman rumah bercat putih itu seakan menjadi
saksi bisu. Di dekatnya, tampak berdiri seorang tentara Belanda memangku
senjata sedang berjaga. Bung Karno, Sutan Syahrir dan H Agus Salim kelihatan
tertawa. Mengapa mereka tertawa? Bukankah mereka dalam pengasingan? Entahlah.
Tapi, setidaknya itulah yang tergambarkan dalam foto memoar yang tergantung di
dalam rumah bersejarah itu, kini.
Di Desa Laugumba, Kecamatan Berastagai Tanah Karo tepatnya di
kawasan seluas 1,5 hektar, terdapat sebuah rumah semi permanen bercat putih,
beratap seng berukuran 20×30 meter, dengan seluas taman yang ditumbuhi
rerumputan hijau dan bunga-bunga. Tempatnya hening, jauh dari kebisingan. Angin
berhembus sejuk hampir sepanjang waktu. Dan tahukah Anda bahwa di tempat itulah
Soekarno, sang pelopor kemerdekaan dengan kedua tokoh penting itu pernah
diasingkan semasa Belanda melancarkan Agresi Militer yang kedua, pada 1948.
Ir Soekarno yang juga digelari sebagai “purtra sang fajar”
merupakan presiden pertama Republik Indonesia (RI), H Agus Salim yang merupakan
perdana menteri pertama RI, serta Sutan Syahrir menteri luar negeri RI,
ketiganya pernah menginap selama 12 hari di sana. Setelah itu dibawa ke Parapat
selama tiga hari dengan alasan faktor keamanan.
Fakta apa saja yang terdapat seputar pengasingan ketiga tokoh
yang dianggap ektrimis oleh Belanda itu? Banyak versi yang menjelaskannya. Dari
situs resmi Yayasan Bung Karno, Cindy Adams dalam bukunya “Penyambung Lidah
Rakyat Indonesia” (2001) menuliskan, “Berastagi berarti mengalami kehidupan
Bengkulu lagi. Hanya saja, ada beberapa perbedaan. Satu: mereka tidak menamakan
pengasingan. Sekarang istilah ‘penjagaan untuk keselamatan’. Dua: ‘kami
dijauhkan dari isteri kami’. Dan tiga: ‘kami berada di lingkungan kawat berduri
dengan diawasi enam orang pakai senapan mondar-mandir secara bersambung.’”
Versi lain. Dari antara mereka yang ditangkap di Yogja
(Yogyakata-red), sembilan orang ditunjuk untuk diiternir tanpa kriteria
tertentu. Tidak mengherankan bahwa Soekarno dan Hatta termasuk kelompok ini.
Akan tetapi Syahrir, sebagai anggota Dewan Penasehat mempunyai kedudukan yang
kurang penting, juga termasuk di dalamnya. Dari para menteri mula-mula, hanya
Agus Salim yang dipilih. Di samping itu, diasingkan lagi Ketua KNIP Assa’at,
Sekretaris Negara Pringgodigdo, dan S Suriadarma.
Pada 23 Desember 1948 mereka naik pesawat terbang yang
dikendalikan oleh seorang komandan yang ditetapkan baru boleh membuka surat
perintah bersegel “sangat rahasia” kalau sudah di udara. Kemudian waktu itu
sang komandan tahu bahwa mereka harus pergi ke Pulau Bangka. Lalu ketika
mendarat di ibukota Bangka, Pangkalpinang, Hatta bersama tiga orang tahanan
lainnya disuruh meninggalkan pesawat. Mereka dipenjarakan di sana. Tiga orang
yang masih tersisa, Soekarno, Syharir dan Agus Salim diterbangkan ke Medan.
Dari sana mereka naik kendaraan ke Berastagi, sebuah kota di pegunungan
kira-kira 60 kilometer dari Kota Medan.
Setelah ketiganya di Berastagi, tenyata di sana timbul
masalah penjagaan, mereka bertiga lalu diasingkan ke tempat lain. Pada 1
Januari 1949 mereka dipindahkan ke Parapat, sebuah tempat liburan yang tidak
jauh dari Berastagi. Di sana, mereka ditempatkan di sebuah rumah peristirahatan
mewah yang lebih mudah dijaga. Demikian pula Lambert Giebels dalam bukunya
“Soekarno Biografi 1901-1950” (2001) melukiskan peristiwa pengasingan Soekarno
ke dari Berastagi ke Parapat.
Sedang, DR Asvi Warman Adam (sejarahwan LIPI) dalam
keterangannya pada tahun 2005 menjelaskan, Bung Karno tak lama di Berastagi
karena alasan keamanan. Tempat mereka menginap dianggap pihak Belanda tidak
aman karena bisa diserang oleh Laskar Rakyat. Saat itu, Tanah Karo dikenal sebagai
poros perjuangan rakyat Sumatra Utara untuk menegakkan kemerdekaan di Republik
Indonesia. Mereka pun secepatnya dipindahkan ke Parapat (di pinggir Danau Toba)
pada 1 Januari 1949. Dan pada 7 Februari, dari Parapat mereka dibawa ke Pulau
Bangka. Mereka berkupul di sana. Lalu pada 6 Juli 1949 Bung Karno kembali ke
Yogyakarta.
Rumah putih warisan kolonialis
“Kawan! Pusara adalah lambang kesinambungan hidup! Mati!
Dalam perjuangan. Bahana kekal panggilan Bung Karno dari Blitar sampai Tanah
Karo”
(Sitor Situmorang)
Demikian Sitor Situmorang, sastrawan angkatan 45 itu
menuliskan seuntai kalimat tanda penghormatan pada “sang proklamator” pada
sepetak batu marmer di Monumen Bung Karno, Laugamba Berastagi. Saksi bisu—pohon
berbunga violet—itu masih tumbuh subur di sana memesona taman itu. Kicau
burung-burung terdengar di balik pepohonan menambahi ketenangan suasana.
Alasan inikah yang membuat pemerintah kolonial Belanda
membangun sebuah rumah peristirahatan, yang kelak menjadi rumah tawanan
sementara bagi Soekarno dan dua tokoh penting itu di sana?
S Sinaga, sang penjaga bekas rumah tahanan yang selama ini
sering digunakan sebagai mess (tempat peristirahatan) bagi pejabat Pemerintahan
Sumatra Utara itu, menjelaskan bahwa memang rumah itu dulunya adalah kediaman
khusus diperuntukkan bagi jenderal-jenderal Belanda selama melaksanakan
tugasnya di daerah kolonial kawasan Tanah Karo.
Tak jelas kapan rumah ini dibangun, yang pasti sekitar tahun
1800-an, jelas Sinaga, yang merupakan anak dari J Sinaga, sang ayah yang pernah
bekerja sebagai juru masak Belanda (koki) di rumah tersebut.
Hebatnya, meski setua itu, tampak kondisi bangunan dan
perabotan yang ada di dalamnya masih tampak kuat dan awet. Soekarno ditempatkan
sendiri dalam satu kamar. Di ruangan tengah antara kamar tidur Soekarno dengan
kamar tidur Agus Salim dan Sutan Syahrir terdapat satu set meja dan kursi.
Ada juga lukisan tergantung di sana, sebuah lukisan artistik
berobjek bunga, karya F Van Vreeland dan lukian sebuah ladang yang asri dan
subur karya Jan Sleyter. Di dalam ruangan terasa adem, tenang. Nah, di ruang
tamu akan didapati dua buah foto yang tergantung di dinding ruang tamu, yang
masing-masing menggambarkan bahwa Seoekarno, Agus Salim dan Sutan Syahrir
pernah singgah di tempat ini.
Kedua foto merupakan hasil reproduksi Sem Anthonius Meliala.
Sedang foto aslinya, kata Sinaga, berada di tangan seorang warga negara
Belanda, yang pada 2001pernah dipinjamkan kepada Sem untuk dicetak ulang.
“Inilah salah satu bukti sejarah yang menunjukkan bahwa
Soekarno memang pernah diasingkan di Tanah Karo,” katanya sambil menunjukkan
bougenville yang pohonnya masih tumbuh pendek dan di depannya tampak seorang
Belanda memangku senjata berlars panjang sedang mengawasi mereka bertiga. Dan
dalam foto tersebut, ketiganya terlihat sedang tertawa. Seokarno mengenakan
pakaian kebesarannya, Sutan Syahrir mengenakan kemeja dan rompi, sedang Agus
Salim tersenyum sambil memegang tongkatnya.
“Soekarno, Agus Salim dan Sutan Sharir diperlakukan secara
terhormat. Mereka dianggap sebagai tahanan politik terhormat oleh Belanda waktu
itu,” ujar Sinaga lalu kemudian menunjukkan kamar Bung Karno, dilengkapi dengan
dua buah tempat tidur, lemari dan kamar mandi terpisah dari ruangan. Semuanya
terlihat masih terawat dan kuat.
Di luar, tepat di tengah halaman rumah, berdiri sebuah
monumen perunggu (replika) Soekarno sedang duduk menyilangkan kaki kanannya.
Dengan dua buah lampu sorot di kiri dan di kanan, pahatan buah tangan Djoni
Basri bangunan yang diberi nama Monumen Bung Karno ini diresmikan pada 22
Desember 2005 oleh Gubernur Sumatra Utara (waktu itu T Rizal Nurdin), dan Ketua
Yayasan Bung Karno Guruh Soekarnoputra.
Awalnya, pemugaran rumah tahanan Bung Karno yang dimulai
April 2001 (menjelang 100 tahun Bung Karno) akan dilengkapi dengan patung Bung
Karno setinggi 7 meter, menggambarkan Bung Karno sedang menunjuk ke depan
dengan tangan kanan, sementara tangan kiri menjepit tongkat komando. Akan
tetapi, rencana itu berobah. “Guruh mengatakan kesan patung demikian rupa
diragukan akan menimbukan opini publik yang beragam tentang Bung Karno,” tutur
Sinaga.
Sumber : northsumatratravel.blogspot.com
Comments