Kehidupan Berumahtangga
Rakutta Sembiring Brahmana
Setelah berhenti dari Taman Siswa, Rakutta Sembiring Brahmana
pulang kekampung halamannya di Desa Limang. Rakutta Sembiring Brahmana kemudian
disarankan oleh ayahnya untuk segera
berumah tangga, dan karena itu adalah permintaan ayahnya, Rakutta Sembiring
Brahmana tak kuasa menolak sehingga ia meluluskan permintaan dari orangtua yang
sangat dikasihinya itu.
Seperti pada umumnya masyarakat Karo, biasanya seorang laki-laki disarankan oleh
orangtuauntuk menikahi anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya yang lajim
disebut impal. Perkawinan dengan impal menurut pola kekerabatan masyarakat
Karo merupakan perkawinan yang ideal. Perkawinan ini diharapkan dapat menjaga
agar tali kekerabatan tetap terjalin terus-menerus. Rakutta Sembiring Brahmana
kemudian disuruh untuk memilih salah satu dari puteri pamannya (mama) untuk
dijadikan pendamping hidupnya. Rakutta Sembiring Brahmana memantapkan pilihanya
kepada salah seorang anak perempuan pamannya bernama Ngamini br Sebayang. Rakutta Sembiring Brahmana akhirnya menikahi
impalnya.
Pernikahan Rakutta Sembiring Brahmana dengan impalnya Ngamini
br Sebayang dilaksanakan di Desa Perbesi. Pernikahan
ini dilaksanakan di Desa Perbesi karena desa tersebut merupakan desa tempat
isterinya berasal. Pernikahan Rakutta Sembiring Brahmana dengan Ngamini br
Sebayang dilakukan dengan acara adat Karo. Pada hari yang telah ditentukan
dilaksanakanlah pesta perkawinan Rakutta Sembiring Brahmana dengan Ngamini br
Sebayang. Hari itu semua sangkep nggeluh dari kedua belah
pihak hadir untuk memuliakan pesta perkawinan itu.
Apabila pesta diadakan sintua (agung), yakini dengan
memotong kerbau dan erkata gendang, dan kalimbubu membawa oseanak berunya (sukut).
Pertama-tama kalimbubu si ngalo ulu emas akan memasangkan ose penggantin
laki-laki dan si nereh memasangkan ose pengantin perempuan. Selanjutnya
semua sukut iosei oleh kalimbubu si ngalo ulu emas janah simaba ose-
nya masing-masing. Selesai rose acara pun dimulai. (18) Dalam pelaksanaan pesta perkawinan
adat ini dipotong beberapa kerbau milik orangtuanya, selain karena ayahnya
mempunyai kerbau yang cukup banyak, juga karena yang menikah adalah putera
sulung. Seharusnya dilakukan demikian sesuai dengan adat istiadat perkawinan di
tengah-tengah masyarakat Karo.
Setelah menikah Rakutta Sembiring Brahmana beserta isterinya menetap di Desa Limang. Meski Rakutta Sembiring
Brahmana telah menikah, beliau tidak pernah meninggalkan kesibukannya di dunia
politik, beliau justru lebih gencar
melakukan kegiatan politik setelah ia menikah. Rakutta kerap kali
meninggalkan isterinya sendirian dan pergi ke desa-desa yang ada di Tanah Karo
untuk menyampaikan pidato-pidatonya.
Rakutta Sembiring Brahmana sering tidak pulang ke rumah hingga berhari-hari
bahkan sampai satu minggu. Hal-hal seperti ini tidak membuat isterinya marah
karena ia sangat mengerti dan mendukung kegiatan suaminya itu.
Rakutta Sembiring Brahmana sering mengajak teman-teman
seperjuangannya untuk berkumpul dan makan bersama di rumahnya. Rakutta
Sembiring Brahmana sangat senang menjamu teman-temannya, dan alangkah malunya
dia apabila ada tamu yang datang ke rumahnya pulang belum makan. Ada beberapa
nama teman sepergerakan Rakutta Sembiring Brahmana yang berhasil didapatkan
oleh penulis antara lain: Munaf Munir,
Jakob Siregar, Keras Surbakti, Rim Perangin-angin dan Selamet Ginting. (19)
Rakutta Sembiring Brahmana dan teman-teman sepergerakanya tidak
hanya berkumpul di Desa Limang. Mereka mempunyai beberapa tempat perkumpulan
dan biasanya tempatnya berpindah-pindah setiap saat. Adapun tempat-tempat yang
sering dijadikan mereka sebagai tempat pertemuan antara lain: TigaNderket, Tiga Binanga dan Kota Cane.
Hal ini dilakukan untuk menghilangkan jejak mereka dari Belanda karena pada
waktu itu bagi orang-orang yang dianggap membangkang dan melawan terhadap
Belanda pasti ditangkap. Meskipun nyawanya terancam apabila sewaktu-waktu
Belanda mengetahui keterlibatan dirinya dalam pergerakan, Rakutta Sembiring
Brahmana tidak pernah takut. Salah satu alasannya adalah ayahanda Rakutta
Sembiring Brahmana mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan controller
(pengawas) (20)
Belanda dan para Sibayak.
Rakutta Sembiring Brahmana dikenal sebagai seseorang yang
sangat senang dengan makanan. Beliau mempunyai makanan favorit yaitu jengkol. Makanan favoritnya ini selalu
dibawa kemana saja dia pergi, bahkan ketika beliau sudah menjadi seorang
pemimpin pun jengkol ini tetap menjadi menu andalan beliau. Jengkol tersebut
bahkan sampai diselipkannya dikantong
jasnya. Di samping jengkol beliau sangat menyenangi sayur-sayuran terutama
yang direbus. Sayuran favorit beliau adalah daun pepaya.
Dari pernikahan Rakutta Sembiring Brahmana dengan isterinya
Ngamini brSebayang, beliau dikaruniai enam
orang anak yang terdiri dari tiga orang putera dan tiga orang puteri. Adapun nama anak-anak Rakutta Sembiring
Brahmana dan Ngamini br Sebayang adalah :
1. Brahmaputera Sembiring Brahmana
2. Netapken Sembiring Brahmana
3. Mulih Hitdjrah Sembiring Brahmana
4. Padjariah br Sembiring Brahmana
5. Asahanifah br Sembiring Brahmana
6. Patih Muka br Sembiring Brahmana
Nama anak-anak Rakutta Sembiring Brahmana pada umumnya
dipengaruhi oleh nama-nama yang berbau
Islam. Hal ini tidak terlepas dari masa lalu Rakutta Sembiring Brahmana
yang pernah tinggal bersama keluarga haji. Selama di Desa Limang isteri Rakutta
Sembiring Brahmana hidup dari bertani.
Beliau harus mendidik anak-anak mereka sendirian karena suaminya sering sekali
berpergian untuk kegiatan politik. Pernah suatu ketika pada masa pendudukan Jepang
di Tanaha Karo, Rakutta Sembiring
Brahmana diminta oleh ayahnya untuk meninggalkan kegiatan politiknya. Hal
ini dimaksudkan oleh ayahnya untuk menjaga keselamatan
putera sulungnya ini. Pada masa pendudukan Jepang pergerakan tidak dapat
dilakukan dengan terbuka karena Jepang tidak segan-segan untuk menangkap dan
menyiksa orang yang ketahuan mengikuti organisasi-organisasi yang menentang
pemerintah Jepang. Menurut orang-orang yang pernah mengalami pendudukan Jepang
di Tanah Karo, pemerintahan Jepang jauh
lebih kejam dari pemerintah Belanda. Akibat kondisi yang seperti itu
Rakutta Sembiring Brahmana disuruh oleh
ayahnya untuk berdagang.
Pada masa itu Rakutta Sembiring Brahmana memutuskan untuk berdagang pakaian, maka ayahnya
kemudian menjual beberapa kerbau miliknya untuk modal putera tercintanya ini.
Keputusan Rakutta Sembiring Brahmana untuk berjualan pakaian dipengaruhi oleh
kondisi pada masa pendudukan Jepang, kain
sangat minim sehingga orang seringkali hanya mempunyai satu pasang baju yang
dipakai hingga berhari-hari.
Usaha dagang kain Rakutta Sembiring Brahmana tidak berjalan
lancar. Hingga berhari-hari tidak ada satu potong pakaian pun yang laku. Ada
beberapa alasan mengapa usaha milik Rakutta Sembiring Brahmana ini tidak dapat
berjalan, pertama Rakutta Sembiring
Brahmana sendiri tidak memiliki jiwa dagang sehingga ia tidak mampu menarik
minat pembeli untuk membeli barang dagangannya. Kedua, pada masa itu keuangan masyarakat yang sangat minim akibat pendudukan
Jepang, sehingga masyarakat tidak mampu untuk membeli pakaian. Usaha dagang
ini kemudian akhirnya ditutup.
Rakutta Sembiring Brahmana dikenal sebagai sosok ayah yang
tegas bagi anak-anak dan isterinya. Beliau juga dikenal sebagai orang yang sangat cuek kepada anak-anaknya,
artinya beliau tidak mau menunjukkan secara nyata perhatiannya kepada
anak-anaknya. Namun di balik sifatnya yang cuek tersebut beliau sebenarnya sangat
menyayangi anak-anak dan isterinya.
Ketegasan Rakutta Sembiring Brahmana ini sangat dipengaruhi
oleh kepribadian dan kegiatan beliau yang banyak berkiprah di dalam dunia
politik. Beliau menerapkan disiplin yang sangat ketat bagi anak-anaknya, dan jika
dilanggar maka dia tidak segan-segan untuk menasehati atau memberikan hukuman
kecil kepada anaknya. Setiap anak dibebebankan pekerjaan rumah seperti menyapu,
mencuci, atau memasak.
Setelah anak-anaknya memasuki sekolah, Rakutta Sembiring
Brahmana tidak pernah membangunkan anak-anaknya untuk segera berkemas ke
sekolah. Rakutta Sembiring Brahmana membiasakan agar masing-masing putera dan
puterinya itu dapat hidup mandiri. Demikian juga untuk masalah jam tidur,
anak-anaknya biasanya sudah tidur sebelum pukul Sembilan pada saat hari
sekolah. Tidak ada satu anak pun yang berani melanggar aturan ini. Biasanya
sebelum dikomando mereka sudah masukke kamar tidur masing-masing. Terkecuali
hari Sabtu, Rakutta Sembiring Brahmana memberikan kebebasan kepada anak-anaknya
untuk tidur diatas jam sembilan. Biasanya anak-anaknya juga dibebaskan untuk ke
luar rumah untuk pergi ke tempat teman, bioskop ataupun pasar malam.
Bagi anak-anaknya Rakutta Sembiring Brahmana ini adalah sosok
ayah yang demokratis. Beliau sangat jarang sekali berkumpul dengan anak dan
isterinya dirumah karena kesibukan beliau. Beliau juga sangat jarang makan
bersama denga nanak-anaknya. Menurut penuturan salah satu putera Rakutta
Sembiring Brahmana, biasanya mereka dapat bertemu dengan ayahnya dan menyampaikan
keluh kesahnya pada saat pagi hari sebelum berangkat ke sekolah. Rakutta
Sembiring Brahmana ini biasanya sudah bangun pagi di bawah jam lima pagi.
Setiap pagi Rakutta SembiringBrahmana duduk santai sambil minum air putih dan
membaca Koran. Beliau tidak minum kopi atau minuman lainnya karena beliau
mempunyai riwayat penyakit diabetes sehingga beliau tidak diperbolehkan untuk
minum minuman seperti itu. (21)
Rakutta sembiring Brahmana mempunyai hobbi main catur dan
sepak bola.Beliau juga sangat gemar menonton di bioskop. Jika Rakutta Sembiring
Brahmana tidak dalam keadaan sibuk, biasanya beliau menyempatkan untuk menonton
film terbaru di bioskop. Kebiasan-kebiasaannya ini tetap dilanjutkannya setelah
ia menikah. Rakutta Sembiring Brahmana tidak
pernah sekali pun mengajak anak dan isterinya untuk menonton bersama di bioskop.
Beliau juga tidak pernah mengajak puteranya untuk bermain olahraga kegemarannya
sepak bola.
(18) Prinst Darwan, Adat Karo, Medan:
Bina Media Perintis, 2004, hal.113.
(19) Wawancara dengan Mulih Hitdjrah
Sembiring Brahmana di Medan, pada tanggal 23 Juli2010.
(20) S. Wojowasito, Kamus Umum
Belanda-Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoevel, 2003, hal .127.
(21) Wawancara dengan Netapken Sembirng
Brahmana di Medan, pada tanggal 12 Juni 2010
Comments