21 November 1987
SETELAH tiga bulan dibangun, pura itu siap. Dan akhir bulan ini tempat ibadat di Desa Rumah Pilpil, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, 48 km dari Medan, itu dipakai. Penduduk di sana menyumbang pertapakannya, sedangkan biayanya dari S. Marimuthu, 74 tahun, Pendeta Agung Hindu di Medan. Dan dari 45 rumah ibadat Hindu ini, hampir 30 di Medan, 10 di Karo 10, sisanya bertebar di Langkat, Deli Serdang, Dairi, dan Simalungun.
"Dengan adanya pura itu, umat kami bertambah," kata Shri Ramlu, 50 tahun, Ketua Parisadha Hindu Dharma Sumatera Utara. Umat Hindu di Sumatera Utara terdiri atas etnis Tamil, Cina, dan sub-etnis Batak Karo -- yang terbanyak. Bahkan dua tahun yang akan datang, di kabupaten itu akan berdiri lagi 20 pura baru.
Kalangan Batak Karo memang mendapat perhatian khusus dari zending Hindu. Ada sejarah panjang antara sebagian warga Batak Karo dan suku bangsa Tamil di India Selatan, yang di zaman dahulu kala menganut agama Senata Dharma. Dan itu bermula dari sebuah inskripsi pada batu bertulis di Lobu Tua, dekat Barus (pantai barat Sumayera Utara), yang ditemukan G.J.J. Deuts pada 1879.
Tulisan tersebut, 1932, diterjemahkan Prof. Nilakantiasastri, guru besar Universitas Madras. Maka, diketahuilah bahwa pada 1080, di Lobu Tua -- tak jauh dari Sungai Singkil -- ada permukiman pedagang dari India Selatan. Orang Tamil, yang jadi pedagang kapur barus itu, membawa pegawai dan penjaga-penjaga gudang, kira-kira 1.500. Tetapi mereka yang dari Colay, Pandya, Teykaman, Muoham, Malaylam, dan Kalingga (kini Orysa) itu, pada 1128-1285 tersingkir menghadapi pasukan dan pedagang Arab yang ingin menguasai bandar Barus.
Selain hendak memonopoli perdagangan di pantai barat Sumatera, orang-orang Arab itu juga mengembangkan Islam. Para Tamil lalu mengungsi ke pedalaman: Alas dan Gayo di Kabupaten Aceh Tenggara. Ada juga yang melalui Sungai Renun, dan mendirikan Kampung Renun. Ada yang menyingkir lewat Sungai Cinendang, lalu berbiak di pelosok Karo.
"Karena mempunyai kebudayaan tinggi, dan lebih pintar dari penduduk setempat mereka diberi wilayah kekuasaan di Karo," kata Suruhen Purba, Wakil Kepala Permuseuman Sumatera Utara.
Kemudian para Tamil itu mendirikan Kerajaan Haru Linga Timur Raja. Dan pembauran itu kemudian lahir marga Sembiring Singombak. Belakangan marga ini pecah dalam submarga Brahmana, Pandia, Colya, Guru Kinayan, Keling, Depari, Pelawi, Bunuh Aji, Busuk, Muhan, Meliala, Pande Bayang, Maha, Teykang, dan Kapur. Marga itu menggambarkan asal penyandangnya.
Asumsinya sekarang bahwa Tamil itulah yang mengembangkan agama Pemena, suatu kepercayaan di wilayah itu -- sebelum Kristen dan Islam masuk ke sana. Menurut Ramlu, ritual Pemena tak beda jauh dengan Senata Dharma yang tadi, dan artinya juga sama: agama pertama. Contohnya, upacara menghanyutkan abu jenazah, yang di India dilakukan di Sungai Gangga, juga dilakukan di lau (sungai) Biang, Karo.
Debu itu dimasukkan ke sebuah perahu yang panjangnya 1 meter. Terusan sungai itu yang ditafsirkan sebagai Sungai Gangga, di Kabupaten Langkat disebut Sungai Wampu, tembus ke Selat Melaka.
"Pada 1950-an ritus seperti itu tak muncul lagi," kata Suruhan Purba, yang mengaku berasal dari etnis Tamil itu. Jenazah yang tak sempat dihanyutkan, setelah dibakar, abunya disimpan di batu berbentuk rumah mini abu partulanen. Batu seperti itu, menurut Purba, banyak ditemukan di jejak pengembaraan Tamil tadi. Tetapi di Tapanuli dan Dairi, juga ditemukan patung batu orang menunggang singa.
"Singa tak pernah dikenal masyarakat Batak dulu," kata Purba.
Contoh lain yang memberi petunjuk adalah instrumen musik. Suara serunai di Karo bernada tinggi. Ini tak terdapat pada peralatan musik Batak lainnya. Juga gong yang berdiameter 70 cm, mirip di India. Pemotongan gigi dan menghitamkannya, serta mandi air limau (erpangir kulau) juga dijadikan bukti. Bahkan kebiasaan bagi wanita Tamil yang membikin titik merah di keningnya juga dilakukan wanita pemeluk Pemena.
"Orang Hindu berdoa pada malam purnama, demikian juga di kalangan Pemena," kata Shri Ramlu.
Perhatian orang Tamil Hindu yang dari India terhadap Pemena dimulai ketika seorang resi Megit, seorang Brahmana, datang dari India pada abad ke-16. Resi itu menikah dengan putri Karo. Turunan resi kemudian mengembangkan agama Hindu ajaran Maharesi Brgu Sekte Ciwi, lalu bergabung ke dalam marga Sembiring Brahmana. Tapi hubungan sempat terputus lama, hingga pada 1950-an, seorang pendeta Hindu datang ke Karo. Hasil kunjungan itu, menurut Ramlu, membuktikan: Pemena sama dengan Hindu.
Kemudian hubungan putus lagi, sampai 1977 terbentuk Parisadha Hindu Dharma di Tanah Karo. Organisasi ini bisa memberi makna terjalinnya hubungan lama. Sebab, para pemuka Hindu di Medan yang memegang peranan dalam zending -- adalah Tamil yang datang ke Sumatera Utara ketika zaman penjajahan. Misalnya Shri Ramlu dan Pendeta Agung S. Marimuthu tadi.
"Karena itu, pendekatan ras termasuk memegang peranan di dalam misi kami," kata Ramlu lagi.
Boleh jadi para Tamil yang sudah bermarga itu "lari" ke agama lain. Tapi tokohnya dikira masih banyak yang bercokol di Pemena (di Sumatera Utara ada 100 ribu penganut). Inilah yang akan ditarik agar menganut ajaran Hindu, sebagai agama yang sah?
"Ya, itu agama nenek moyang kami," kata Tersingat Barus, 55 tahun, Ketua Parisadha di Desa Rumah Pilpil.
Tersingat, baru setahun menganut Hindu. Dan dalam tempo dua tahun ini zending telah menggarap 50 penduduk Rumah Pilpil. Sadar seketurunan itu muncul setelah mereka membaca Karo dalam Zaman ke Zaman, karangan Brahma Putro. Isinya antara lain, ya sejarah Tamil Hindu ke Karo. Kitab itu, 1981, dicetak dengan biaya Departemen Agama. Menurut Ramlu, disebarkan untuk calon jemaat.
oleh Monaris Simangunsong & Mukhlizardy Mukhtar (Medan)
"Dengan adanya pura itu, umat kami bertambah," kata Shri Ramlu, 50 tahun, Ketua Parisadha Hindu Dharma Sumatera Utara. Umat Hindu di Sumatera Utara terdiri atas etnis Tamil, Cina, dan sub-etnis Batak Karo -- yang terbanyak. Bahkan dua tahun yang akan datang, di kabupaten itu akan berdiri lagi 20 pura baru.
Kalangan Batak Karo memang mendapat perhatian khusus dari zending Hindu. Ada sejarah panjang antara sebagian warga Batak Karo dan suku bangsa Tamil di India Selatan, yang di zaman dahulu kala menganut agama Senata Dharma. Dan itu bermula dari sebuah inskripsi pada batu bertulis di Lobu Tua, dekat Barus (pantai barat Sumayera Utara), yang ditemukan G.J.J. Deuts pada 1879.
Tulisan tersebut, 1932, diterjemahkan Prof. Nilakantiasastri, guru besar Universitas Madras. Maka, diketahuilah bahwa pada 1080, di Lobu Tua -- tak jauh dari Sungai Singkil -- ada permukiman pedagang dari India Selatan. Orang Tamil, yang jadi pedagang kapur barus itu, membawa pegawai dan penjaga-penjaga gudang, kira-kira 1.500. Tetapi mereka yang dari Colay, Pandya, Teykaman, Muoham, Malaylam, dan Kalingga (kini Orysa) itu, pada 1128-1285 tersingkir menghadapi pasukan dan pedagang Arab yang ingin menguasai bandar Barus.
Selain hendak memonopoli perdagangan di pantai barat Sumatera, orang-orang Arab itu juga mengembangkan Islam. Para Tamil lalu mengungsi ke pedalaman: Alas dan Gayo di Kabupaten Aceh Tenggara. Ada juga yang melalui Sungai Renun, dan mendirikan Kampung Renun. Ada yang menyingkir lewat Sungai Cinendang, lalu berbiak di pelosok Karo.
"Karena mempunyai kebudayaan tinggi, dan lebih pintar dari penduduk setempat mereka diberi wilayah kekuasaan di Karo," kata Suruhen Purba, Wakil Kepala Permuseuman Sumatera Utara.
Kemudian para Tamil itu mendirikan Kerajaan Haru Linga Timur Raja. Dan pembauran itu kemudian lahir marga Sembiring Singombak. Belakangan marga ini pecah dalam submarga Brahmana, Pandia, Colya, Guru Kinayan, Keling, Depari, Pelawi, Bunuh Aji, Busuk, Muhan, Meliala, Pande Bayang, Maha, Teykang, dan Kapur. Marga itu menggambarkan asal penyandangnya.
Asumsinya sekarang bahwa Tamil itulah yang mengembangkan agama Pemena, suatu kepercayaan di wilayah itu -- sebelum Kristen dan Islam masuk ke sana. Menurut Ramlu, ritual Pemena tak beda jauh dengan Senata Dharma yang tadi, dan artinya juga sama: agama pertama. Contohnya, upacara menghanyutkan abu jenazah, yang di India dilakukan di Sungai Gangga, juga dilakukan di lau (sungai) Biang, Karo.
Debu itu dimasukkan ke sebuah perahu yang panjangnya 1 meter. Terusan sungai itu yang ditafsirkan sebagai Sungai Gangga, di Kabupaten Langkat disebut Sungai Wampu, tembus ke Selat Melaka.
"Pada 1950-an ritus seperti itu tak muncul lagi," kata Suruhan Purba, yang mengaku berasal dari etnis Tamil itu. Jenazah yang tak sempat dihanyutkan, setelah dibakar, abunya disimpan di batu berbentuk rumah mini abu partulanen. Batu seperti itu, menurut Purba, banyak ditemukan di jejak pengembaraan Tamil tadi. Tetapi di Tapanuli dan Dairi, juga ditemukan patung batu orang menunggang singa.
"Singa tak pernah dikenal masyarakat Batak dulu," kata Purba.
Contoh lain yang memberi petunjuk adalah instrumen musik. Suara serunai di Karo bernada tinggi. Ini tak terdapat pada peralatan musik Batak lainnya. Juga gong yang berdiameter 70 cm, mirip di India. Pemotongan gigi dan menghitamkannya, serta mandi air limau (erpangir kulau) juga dijadikan bukti. Bahkan kebiasaan bagi wanita Tamil yang membikin titik merah di keningnya juga dilakukan wanita pemeluk Pemena.
Men bite with teeth filed, Karo, North Sumatra Date 1914-1918 Source : Tropenmuseum |
"Orang Hindu berdoa pada malam purnama, demikian juga di kalangan Pemena," kata Shri Ramlu.
Perhatian orang Tamil Hindu yang dari India terhadap Pemena dimulai ketika seorang resi Megit, seorang Brahmana, datang dari India pada abad ke-16. Resi itu menikah dengan putri Karo. Turunan resi kemudian mengembangkan agama Hindu ajaran Maharesi Brgu Sekte Ciwi, lalu bergabung ke dalam marga Sembiring Brahmana. Tapi hubungan sempat terputus lama, hingga pada 1950-an, seorang pendeta Hindu datang ke Karo. Hasil kunjungan itu, menurut Ramlu, membuktikan: Pemena sama dengan Hindu.
Kemudian hubungan putus lagi, sampai 1977 terbentuk Parisadha Hindu Dharma di Tanah Karo. Organisasi ini bisa memberi makna terjalinnya hubungan lama. Sebab, para pemuka Hindu di Medan yang memegang peranan dalam zending -- adalah Tamil yang datang ke Sumatera Utara ketika zaman penjajahan. Misalnya Shri Ramlu dan Pendeta Agung S. Marimuthu tadi.
"Karena itu, pendekatan ras termasuk memegang peranan di dalam misi kami," kata Ramlu lagi.
Boleh jadi para Tamil yang sudah bermarga itu "lari" ke agama lain. Tapi tokohnya dikira masih banyak yang bercokol di Pemena (di Sumatera Utara ada 100 ribu penganut). Inilah yang akan ditarik agar menganut ajaran Hindu, sebagai agama yang sah?
"Ya, itu agama nenek moyang kami," kata Tersingat Barus, 55 tahun, Ketua Parisadha di Desa Rumah Pilpil.
Tersingat, baru setahun menganut Hindu. Dan dalam tempo dua tahun ini zending telah menggarap 50 penduduk Rumah Pilpil. Sadar seketurunan itu muncul setelah mereka membaca Karo dalam Zaman ke Zaman, karangan Brahma Putro. Isinya antara lain, ya sejarah Tamil Hindu ke Karo. Kitab itu, 1981, dicetak dengan biaya Departemen Agama. Menurut Ramlu, disebarkan untuk calon jemaat.
oleh Monaris Simangunsong & Mukhlizardy Mukhtar (Medan)
Comments