30 Agustus 1986
TOEAN KEBOEN DAN PETANI: POLITIK KOLONIAL DAN PERJUANGAN AGRARIA
Oleh: Karl J. Pelzer
Penerbit: Sinar Harapan, Jakarta, 1985, 231 halaman
BUKU Toean Keboen dan Petani : Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria sepintas merupakan sejarah perkembangan perkebunan besar pada masa kolonial Belanda di Sumatera Timur. Tetapi nilai intelektual (intellectual value) buku ini berubah apabila pembaca mengaitkannya dengan keputusan pemerintah Indonesia untuk membangun perkebunan baru serta problem sosial-budaya yang timbul di daerah-daerah yang terkena program itu.
Seperti halnya pemerintah saat ini, pemerintah kolonial Belanda juga melihat perkebunan merupakan sumber penghasil devisa yang potensial. Berbagai kebijaksanaan yang berkaitan dengan politik ekonomi maupun agraria telah diciptakan pemerintah kolonial untuk menunjang keberhasilan usaha perkebunan itu. Ditinjau dari segi ekonomi regional, pengembangan perkebunan besar di Sumatera Timur membawa dampak positif.
Infrastruktur baru, seperti jalan kereta api, yang juga bermanfaat bagi perkembangan ekonomi masyarakat pribumi dibangun. Tetapi seperti ditulis Pelzer, perkembangan perkebunan di Sumatera Timur juga menimbulkan kerawanan politik di daerah itu. Kerawanan politik itu bersumber pada persoalan agraria, yakni perkosaan hak milik tanah rakyat oleh pemilik perkebunan besar. Para pemilik perkebunan besar di Sumatera Timur dapat bertindak semena-mena terhadap petani karena memperoleh dukungan pemerintah maupun pihak Sultan Deli. Situasi ini menyebabkan petani tidak dapat banyak berbuat mempertahankan tanah mereka.
Mereka, para petani itu, harus menghadapi aliansi tiga kekuatan, yakni Sultan, pemerintah kolonial, dan pemilik perkebunan. Walau demikian, menurut Pelzer, petani setempat pun berusaha mempertahankan tanah mereka. Tercatat dalam hal ini pemberontakan petani Batak Karo terhadap keputusan sepihak Sultan Deli untuk menyewakan tanah mereka pada perkebunan.
Para petani Batak Karo mengajukan tiga persyaratan untuk mengizinkan tanah mereka disewa perkebunan. Syarat itu adalah tetap cukup tanah dalam pemilikan mereka untuk perladangan huma, pohon-pohon buah mereka dan harta benda lainnya tetap dihormati, dan mereka tidak akan dicegah oleh orang-orang Eropa itu untuk menggarap kebun-kebun ladang baru dan ladang-ladang padi (halaman 95).
Problem agraria yang dihadapi pemerintah kolonial dalam mengembangkan perkebunan di Sumatera Timur juga dihadapi pemerintah Indonesia pada saat ini. Pengembangan program PIR sering terhambat, karena terdampar pada persoalan perolehan tanah. Sama seperti pada masa kolonial, penduduk masih melihat bahwa tiada ada tanah kosong di daerahnya. Karena itu, mereka sering mengajukan tuntutan ganti rugi bagi tanah yang terkena proyek. Sementara itu, pemerintah memutuskan untuk tidak membayar ganti rugi.
Sebagai alternatifnya pemerintah menjadikan bekas pemilik lahan itu sebagai peserta proyek PIR. Tetapi alternatif ini pun masih sering belum memuaskan petani setempat, sehingga problem agraria itu belum dapat diselesaikan secara tuntas. Problem agraria lain yang dihadapi pemerintah Indonesia adalah bagaimana menghadapi petani peladang. Pada masa kolonial, pemilik perkebunan telah mendesak pemerintah Belanda untuk mengarahkan mereka itu menjadi petani tetap. Alasannya, pertanian perladangan "sangat mengganggu" kesuburan tanah. Tetapi, sebenarnya, pemilik perkebunan menganggap para peladang itu saingan mereka dalam memperoleh tanah, karena usaha tani peladangan adalah suatu usaha tani yang ekstensif.
"Konflik" seperti ini masih juga terjadi dalam proyek PIR, yang ingin dikembangkan pemerintah di Kalimantan. Seperti halnya pemerintah kolonial, pemerintah Indonesia juga menghadapi kesulitan mengarahkan petani peladang menjadi petani tetap. Ini disebabkan oleh kondisi agronomi setempat membuat sistem pertanian perladangan menjadi sistem pertanian yang paling cocok di daerah itu. Dalam program PIR, pemerintah Indonesia telah mengikutkan pula bekas petani peladang.
Tetapi problem akan muncul lagi apabila lahan pangan, yang tidak cukup luas dari ukuran petani peladang, yang disediakan proyek PIR menurun kesuburannya. Apabila ini terjadi, food security bekas petani peladang akan terganggu. Ketakutan akan terganggunya food security inilah, menurut saya, yang melatarbelakangi rasa tidak senang petani Karo di Sumatera Timur pada masa kolonial terhadap perkebunan. Dan asumsi ini ternyata benar.
Menurut Pelzer banyaknya tanah yang dikuasai perkebunan menyebabkan daerah Sumatera Timur mengalami problem pangan (halaman 143). Hal lain yang menarik yakni hubungan birokrasi pemerintah Belanda dengan perkebunan. Walaupun ada dukungan pemerintah Belanda terhadap perluasan perkebunan di Sumatera Timur, Pelzer juga memberikan bukti bahwa pada tingkat operasionalnya aparat pemerintah kolonial banyak juga yang peka terhadap problem sosial ekonomi petani setempat, yang muncul sebagai akibat politik agraria pemerintah kolonial. Aparat pemerintah itu berusaha melaksanakan tugas mereka tanpa membiarkan petani setempat terlalu dirugikan pemilik perkebunan.
Pelzer menyebutkan beberapa kasus tentang pejabat kolonial setempat yang menentang kebijaksanaan resmi pihak perkebunan yang dianggap merugikan petani setempat. Anehnya, pemerintah kolonial di Batavia membiarkan pejabat yang melindungi hak petani itu. Sementara itu, pemerintah kolonial di Batavia juga sering mengadakan komisi-komisi pencari fakta, apabila terjadi suatu peristiwa penting di daerah perkebunan atau ada laporan tentang kebijaksanaan perkebunan yang merugikan petani. Adanya komisi-komisi ini, yang rekomendasinya sering digunakan pemerintah untuk mengubah kebijaksanaan, dan kepekaan pejabat daerah terhadap problem petani dapat mencegah keresahan sosial di daerah perkebunan berkembang menjadi gerakan sosial yang mengakibatkan destabilisasi politik. Loekman Soetrisno
sumber : Tempointeraktif
Comments