Ini kisah diberitakan oleh majalah TEMPO tanggal 08 Desember 1979 . Terkesan organisasi agama begitu "bernafsu" dalam perlombaan mengambil target terbanyak dalam menggaet pengikutnya :
08 Desember 1979
DALAM 10 tahun mendatang, seluruh orang Karo yang animis diharap sudah menerima pekabaran. Ini target dari Sidang Sinode Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) di Kabanjahe, Kabupaten Karo Sumatera Utara, 18-24 November lalu.
08 Desember 1979
DALAM 10 tahun mendatang, seluruh orang Karo yang animis diharap sudah menerima pekabaran. Ini target dari Sidang Sinode Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) di Kabanjahe, Kabupaten Karo Sumatera Utara, 18-24 November lalu.
"Kampung-kampung yang jauh pun dalam 10 tahun ini sudah harus menerima berita ini (Injil red.)", kata Anggapen Ginting Suka, Ketua GBKP yang memimpin sidang sinode ke-28 itu.
Harapan GBKP tak berlebih-lebihan. Seperti ditunjukkan oleh catatan Kantor Departemen Agama Kabupaten Karo, dalam perlombaan da'wah tiga agama (Protestan, Katolik, Islam), plus kepercayaan asal (Pelbegu), ternyata Protestan keluar sebagai pemenang dalam jumlah. Urut-urutannya: Protestan 96.970, Islam 57.568, Pelbegu 27.571, Katolik 25.336 -- ditambah Budha 996 orang. Itu semua dari jumlah 208.441 penduduk kabupaten tersebut -- tentunya termasuk orang suku lain atau keturunan asing.
Tapi menurut Ginting Suka sendiri, di luar kabupaten masih ada orang Karo bahkan dalam jumlah sekitar 300.000 jiwa -- tersebar di Deli Serdang, Langkat, Medan, Jakarta dan bahkan Irian Jaya. Dan ke daerah-daerah luar-Karo itu pula target GBKP dikenakan. Tidak adakah masalah yang dihadapi Gereja dalam program itu?
"Kami hanya kekurangan tenaga," jawab pendeta keluaran Sekolah Tinggi Theologia Jakarta itu kepada Amran Nasution dari TEMPO. Maklum jaringan operasi begitu luas. Sedang pendekatan yang digunakan harus tidak sama caranya -- mengingat orang Karo yang masih Pelbegu tak hanya yang bodoh dan tinggal di dusun, tapi juga yang "modern" dan tinggal di kota. Malah yang masih Pelbegu ternyata lebih banyak yang di luar daerah.
Pendeta Ginting sendiri sudah mengkristenkan jenis kedua itu-misalnya Kantor Tarigan, bekas walikota Tebing Tinggi, 1959. Atau RO Sembiring, pemilik bis 'Saudaranta' di Jakarta, 1966. Sekarang ini 140 petugas GBKP beroperasi baik di dalam maupun di luar kabupaten. Dan lancar: bila di tahun 1965 misalnya jemaat Gereja tersebut seluruhnya baru berjumlah 35.000 orang, sekarang (di dalam dan di luar) 118.000. Patut dicatat bahwa Kristen sudah dikenal di Karo sejak 1890, dan GBKP sendiri berumur 89 tahun. Jadi kemajuan itu terasa terutama pada dasawarsa terakhir.
Hal itu juga dirasakan oleh kelompok Islam. Seperti dituturkan Syahbuddin Siregar (50 tahun), Ketua Badan Koordinasi Da'wah Islam Kabupaten Karo, kegiatan penyiaran Islam -- yang baru mulai sejak 1950 -- mulai menggebu sejak 1966. Badan koordinasi da'wah itu sendiri dibentuk 1967 -- terdiri dari Muhammadiyah, Al Ittihadiyah, Al Washliyah dan Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII). Waktu itu pemeluk Islam berjumlah 22.150 jiwa (tahun 1939 hanya 1.000, itu pun umumnya pendatang), tapi sekarang sudah terhitung 57.568 jiwa -- hanya dalam kabupaten.
Bila GBKP mempunyai 140 juru da'wah untuk dalam dan luar, pihak Islam punya 14 orang untuk dalam saja. Yang 12 di antaranya dikirim oleh DDII Jakarta. Mereka berda'wah dari desa ke desa dengan honor Rp 12.000, berasal dari para donatur. Dan bagaimana target mereka?
"Dua ribu lima ratus orang per tahun," kata Siregar sebagai target resmi. Dan bila masalah yang dihadapi GBKP terutama kekurangan tenaga, di pihak Islam tak lain kekurangan biaya. Bukan hanya untuk para da'i. Sebab rupanya pengislaman memerlukan suatu upacara, "dan kami kekurangan biaya untuk itu." Sekarang saja sudah ada 1.450 orang yang mau masuk Islam, tapi terpaksa belum disyahadatkan -- "menunggu amal para donatur," kata Siregar.
Tuntutan "biaya syahadat" itu timbul karena menurut adat setempat, tiap ada 'hajat' semua kaum diundang -- dan tentu saja ada jamuan makan segala. Kalau tidak begitu mereka tentunya merasa tidak mantap. Upacara pengislaman 335 jiwa di Kecamatan Munte misalnya, 11 November kemarin, menghabiskan Rp 500.000.
"Kalau ada biaya, sebenarnya tiap hari ada saja yang bisa kita Islamkan," kata Siregar.
Dukun Aceh
Sebab di samping faktor-faktor lain, konon ada yang membuat Islam mudah diterima disana. Menurut Siregar, sebelum abad XX Masehi (1889), dari Aceh datang ke Tanah Karo seorang dukun bernama Tengku Laubahun. Dia menetap di Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, dan buka praktek. Ketika itu berjangkit penyakit reme (cacar) -- dan ternyata para penderita bisa disembuhkannya. Maka dukun asal Pidie (Aceh) yang nama aslinya Tengku Muhammad Amin itu jadi populer.
Memang, ketika hendak membangun surau di Suka Nalu, Kecamatan Barus Jahe, 16 km dari Lingga, dia dibunuh orang yang merasa curiga kalau orang asing ini mau "menjajah". Tapi ternyata kuburannya di Lingga toh tetap dihormati orang. Sampai sekarang banyak yang berziarah -- menganggapnya keramat. Dan bekas Tengku Laubahun masih terasa -- terutama di kalangan para dukun, yang dominan pengaruhnya bagi orang Pelbegu. Banyak dukun yang sampai sekarang konon mempraktekkan cara pengobatan Tengku Laubahun -- dan lebih dahulu membaca bismillahirrohmanirohim dalam mantranya.
"Padahal mereka tak tahu artinya," kata Syahbuddin. Selain itu kebanyakan mereka dikhitan (disunat). Syahdan di Kabupaten Karo sekarang terdapat 22 masjid, 8 musholla, 35 surau (entah apa beda mushola dan surau dan langgar) serta 12 sekolah Islam. Sebagai perbandingan, Kristen yang lebih dahulu mapan punya 4 SMP, 2 SMA, 4 SD yang diasuh baik oleh Katolik maupun GBKP. GBKP sendiri punya tiga ratusan gereja.
"Saya belum masuk agama, karena belum bisa memindahkan kuburan orangtua," ujar Parjeki Ginting (48 tahun), penduduk Desa Lingga kepada TEMPO. Petani sayur ini memang sudah pasang kaul : akan masuk agama setelah bisa memindahkan kuburan orangtuanya yang menuntut biaya sekitar Rp 100.000. Mau pilih agama apa?
"Nantilah berunding dengan keluarga. Islam atau Kristen, terserah nanti," katanya gampang saja. Dan setelah menarik napas panjang, dia bilang :
"Masa tak punya agama. Mana boleh. Nantilah kalau ada duit. " P. Sembiring, tetangganya, juga sama. Mereka "mesti beragama."
"Tapi nantilah, sekarang pikiran saya belum senang. Harga sayur tetap murah saja ...."
sumber : Tempointeraktif
Comments