Belajar pada masa lalu itu bijak, agar kita sadar bahwa kita adalah produk dari sebuah masyarakat yang berjalan, produk dari sebuah budaya itu sendiri dan dipengaruhi oleh waktu yang melaju bersama interaksi dengan masyarakat luar lainnya. Dan ketika menemukan kabar lama yang menyakitkan, kita harus mampu berucap :
"Horeee... aku menemukan akar penyebab penyakit di kekinian."
Berikut kabar lalu tentang masyarakat Karo yang katanya : "Selain beradat, suka menolong, hemat, dan pengasih, mereka juga pendendam dan tahu harga diri".
13 Agustus 1988
Tempointeraktif.com
Umbul-umbul, dipacangkan di sebuah lapangan, di Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara. Itulah pertanda akan berlangsung pertarungan dua laki-laki. Penduduk membentuk lingkaran, menonton kedua pria yang siap turun berlaga dengan tangan kirinya terikat seutas tali satu sama lain. Lali, seorang pengetua adat, setelah berpidato singkat, menyerahkan pisau kepada kedua jagoan. dengan pisau di tangan, keduanya mengangkat sumpah : "Pinter bilang ku Dibata" (lurus perhitungan kepada Tuhan). Artinya, cuma Tuhan yang tahu, siapa yang benar di antara mereka. Setelah aba-aba pertarungan dimulai, tikam menikam pun terjadi.
"Biasanya," kata Moderamen (pucuk pimpinan) Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), Ds. A. Ginting Suka, "seseorang dari mereka mati". Dan penonton mempercayai, yang bersalah adalah yang mati.
"Jika keduanya tewas, maka keduanya memang dianggap bersalah," kata P. Antonius Sitepu, dosen Fisipol Universitas Sum-Ut (USU), kepada TEMPO. Duel maut semacam itu, secar adat, pernah menjadi pilihan terakhir untuk menyelesaikan perselisihan. Ini ditempuh jika musyawarah keluarga, kerabat, dan lembaga adat tidak mampu mendamaikannya. Pembunuhan terjadi, kata Ginting Suka, biasanya karena harga diri seseorang tersinggung.
Upacara Sar-sar Lambe, duel untuk mencari yang bersalah tersebut, telah dihapus sejak zaman Belanda. Pemancangan umbul-umbul di lapangan untuk mengadili "siapa yang salah dan benar" dengan duel maut semacam itu juga sudah tidak ada lagi. Namun, mengutip kesimpulan Seminar Adat-Istiadat Karo awal 1977, masyarakat di kabupaten itu agaknya punya sifat menonjol: "Selain beradat, suka menolong, hemat, dan pengasih, mereka juga pendendam dan tahu harga diri".
Dengan kata lain, menurut sumber TEMPO di Polres Tanah Karo, sebagai masyarakat di wilayah itu, sampai sekarang, termasuk gampang tersinggung. Beberapa kasus menunjukkan, karena merasa tersinggung dan terhina, mereka tidak segan-segan menjatuhkan korban untuk mencari siapa yang benar. Korbannya sering keluarga sendiri seperti ayah, ibu, anak atau saudara kandung.
Bertolak dari sifat semacam itu, Elya Ras Ginting -- untuk skripsinya di FH USU -- mencoba menelusuri alasan mengapa masyarakat didaerah itu gampang main bunuh. Dari 16 responden di rumah tahanan Polres Kabanjahe, Karo, yang diwawancarainya, semua menjawab, "terpaksa membunuh karena dendam yang dipendam yang dipendam akibat sakit hati". Dendam merupakan faktor paling dominan yang mendorong mereka saling membunuh," kata gadis mungil itu.
Elya mencatat, sepanjang 1982-1986, terjadi 54 pembunuhan. Tahun 1987 ada 8 kali dan tahun ini, sampai Juli 1988, terjadi 5 kali pembunuhan. "Delapan puluh persen dari jumlah itu adalah pembunuhan keluarga," kata Lettu. P.R. Pakpahan, Kasatserse Polres Tanah Karo. Misalnya kisah pembantaian Sambar Perangin-angin 1986. Pelcik Ginting, 54 tahun, dan isterinya Ngaku beru Karo-Karo beserta anaknya Sinton bersepakat membunuh menantunya, Sambar. Tujuannya sekadar ingin mendapatkan kembali setengah hektar kebun yang diserahkan kepada korban lima tahun sebelumnya.
Penyebabnya cuma sepele. Pelcik tersinggung gara-gara menantunya itu menanam cengkih di lahan kebun pemberiannya. Padahal, Sambar, katanya, pernah berjanji hanya akan menanam palawija. Untuk membakar amarah keluarga, mereka bertiga membuat skanario bahwa Sambar telah memperkosa isteri Sinton, Sehmawati beru Sitepu. Anak-anak Pelcik yang lain berang dan tersinggung karena "aib" telah menodai keluarganya. Akhirnya, Sambar dibantai oleh saudara iparnya.
Contoh lain Kita beru Ginting, 51 tahun, dan anaknya Tulis Tarigan, warga Desa Kutambelin, Kecamatan Simpang Empat, Karo. Mereka pernah merancang menghabisi Pentar Tarigan karena suka mengompas dan menyiksa ibu dan saudaranya. Gigi depan ibunya rompal dihajar Pentar setiap kali minta duit. Pernah sekali ibunya dicekik. "Kami sakit hati, tapi tak berani membunuh Pentar," kata Tulis kepada TEMPO.
Untuk membalas sakit hatinya, Tulis minta jasa abang sepupuhnya, Berani Tarigan. Dengan modal Rp 280 ribu dari Tulis, Berani mengajak Pentar jalan-jalan ke Medan. Di kota itu, ia dibunuh dengan racun monyet. Agaknya, sikap gampang main bunuh itu banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti tekanan hidup, pengetahuan yang kurang, dan iman keagamaan yang dangkal. Mungkin, seperti diimbau oleh Ginting Suka, mereka perlu segera meninggalkan sifat kurang baik itu. Monaris Simangunsong (Medan).
sumber : Tempointeraktif
Comments
Kriminalisasi yang paling vital pernah dilakukan adalah dari Tambat Bukit dan teman2nya pada tahun 1890-an kepada mandor perkebunan Belanda yang kemudian memutuskan untuk mengKristenkan orang Karo...Hingga sekarang agama tradisional Karo menjadi hilang;)